Bagian dari buk ouman perihal silsilah Mongondow karya wilken
Jam 4 sore di hari jumat sudah jadi kegiatan rutin saya untuk menembus kabut pegunungan Atoga, Maklum saya mencari nafkah di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur sementara itu kami sekeluarga berdomisili di Kotamobagu, hari senin sampai jumat saya tinggal Bolaang Mongondow Timur, hari sabtu dan minggu saya berdomisili di Kotamobagu.
Saat saya menulis ini hari selasa tanggal 5 Januari 2021 sudah terpikir beberapa hari lagi akan pulang berkumpul dengan keluarga di Kotamobagu. Jadi Ingat kejadian beberapa Tahun lalu saat saya melakoni mudik mingguan, saat itu kabut cukup tebal di pegunungan Atoga, saking tebalnya kabut Motor saya pun harus berjalan dengan kecepatan minim mengantisipasi jarak pandang, tepat setelah turunan Tower dekat Danau Tondok hujan gerimis mulai menghadang.
Cuaca yang dingin dan hujan ini memaksa saya mencari 'sombar' di pinggiran jalan yang berbatasan dengan Cagar Alam Gunung Ambang, yah di kantin penyedia kopi dan mie ceplok. sambil ngopi saya nimbrung aja dengan Bapak Bapak stelan jas rapih yang lagi nikmati kopi sambil ngobrol masalah politik nasional, lokal hingga kebijakan kehutanan dan seabrek problem sosial lain, diskusi yang asik. Bapak yang berjas di samping saya pun bertanya ke saya bertanya ke saya, adik tinggal di mana? saya jawab saja kampug domisili saya, nampaknya Beliau tahu dan akrab dengan masyarakat di kampung saya. Si Bapak bertanya lagi, orangtua mu siapa? Saya jawab saja nama ayah saya sekaligus nama ibu dan asal kampung orangtua saya dengan panjang lebar namun di sela oleh si Bapak, bukan itu dek, maksud saya , orangtua mu kerja di mana? apa jabatannya? hah ! saya pun kaget namun dengan santai saya jawab saja, 'ayah saya mulanya seorang sopir kemudian menjadi montir bengkel dan sekarang karena sudah uzur usaha bengkel ini pun berhenti'. Si Bapak nampak jidatnya berkerut menatap saya, saya timpali lagi.. 'dan saya bangga atas pekerjaan orangtua saya '. Tak lama kemudian gerimis pun menghilang dari lereng Gunung Ambang seputaran Danau Tondok tempat saya numpang nongkrong. kami pun bubarkan diri pulang ke tempat masing masing.
Dalam diskusi ringan dengan beberapa kerabat dan teman teman ternyata banyak di antara teman teman juga pernah bertemu dengan pertanyaan 'anak siapa?' yang maksudnya bukan dalam hal genealogi tapi Jabatan dalam pemerintahan. kayaknya ada perubahan pola berkeluarga bagi segelintir orang. Pertanyaan 'anak siapa?' latarnya dapat di lacak dari jawaban yang di inginkan oleh penanya. Jika Penanya serius ingin mengetahui nama orangtua maka bisa jadi si penanya memang orang yang gemar menjalin silahturahmi kekeluargaan yang di tanah Mongondow di sebut Ginalum Motolu adi dan jika Penanya ingin kan jawaban dalam bentuk pekerjaan atau jabatan orangtua maka bisa jadi si Penanya berniat membangun silahturahmi berasas relasi dan kepentingan. Suatu pergeseran kultur kekeluargaan yang unik di negeri ini. Bolaang Mongondow memang negeri yang unik, bahkan kalau benar reikarnasi itu ada, maka saya akan meminta kepada Tuhan, jika saya terlahir kembali ( reikarnasi) maka jadikanlah saya tetap sebagai orang Mongondow saking cinta saya kepada Bangsa Mongondow.
Dahulu di Bolaang Mongondow hubungan kekerabatan sangat erat, tidak ada istilah 'keluarga mar so jaoh' tapi lebih banyak kalimat 'masih keluarga torang'. Dalam hal menjalin silahturahmi kekeluargaan untuk saat ini (setidaknya sepengetahuan saya) selain lebaran bagus juga hadir dalam hajatan keluarga semacam malam ba kupas untuk persiapan pernikahan keluarga. Biasanya anggota keluarga yang paling senior memperkenalkan keluarga yang datang atau baru saya lihat dengan menyatakan bahwa si fulan ini keluarga dari pihak Baay ( nenek) karena si fulan anak dari si fulan itu dan seterusnya. penjelasan hubungan kekeluargaan dari segi genealogi kemanusiaan ala Mongondow "Ginalum motolu adi". Bandingkan ketika hajatan poltik misalnya pemilihan legislatif ketika ada seseorang memperkenalkan sang calon dengan kalimat : '' calon ini masih keluarga dekat karena si fulan anak dari fulan bin fulan" pasti ada yang hadir sambil berbisik bisik : "so depe waktu mongurapak ini" ( sudah waktunya untuk ngibul). ada semacam ketidak percayaan yang bukan pada genealogi tapi tujuan dari di ungkapnya hubungan kekeluargaan ini oleh pihak si calon peserta hajatan politi.
Mongondow itu memang unik kejadian yang sebagian orang merasa tidak nyaman ketika pertanyaan 'anak siapa?' yang bermaksud Pejabat apa, maka yang tidak nyaman dengan pertanyaan ini akan menimpali dengan jawaban yang mengandung kritik sosial yang bernama Loleke atau Tonteek.
Di akhir tulisan ini marilah kita menjalin silahturahmi dan menjaga kekeluargaan tanpa pamrih. Menjaga hubungan kekeluargaan dengan pihak keluarga yang oleh pihak lain di labeli 'orang atau rakyat kecil' tanpa pamrih dan jauhkan dari sikap berharap kalangan 'orang kecil' ini akan membesarkan kita, dengan sikap tulus dalam menjalin silahturahmi Insya Allah bernilai ibadah, habluminanas kita di ridhai Allah, Insya Allah Habluminallah pun terbuka luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar