Rimbawan Alumni Fakultas Kehutanan UDK |
Ironis, demikian kata yang pantas ketika melihat laju kerusakan hutan di Indonesia. Sekilas di mata masyarakat awam jika di Tanya siapa yang paling bertanggung jawab terhadap laju kerusakan hutan maka akan di jawab Dinas kehutanan. Jawaban spontan yang perlu di perdebatkan lagi. Sangat ironis ketika para Punggawa Rimbawan yang bernama Pejabat Pegawai Negeri Sipil Kehutanan (PPNS Kehutanan) ternyata terpasung dan terbelenggu . Sebagai penyidik tapi tak memiliki kewenangan lebih sesuai bidangnya.
Dasar hukum PPNS Kehutanan tertuang dalam berbagai undang undang baik yang memperkuatnya maupun yang cenderung melemahkan PPNS kehutanan itu sendiri. Dalam KUHAP no 8 thn 1981 BAB I pasal 1 : Penyidik adalah pejabat polisi Negara Repoblik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di berikan wewenang oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. Disini dapat di lihat kata ‘atau’ menunjukan bahwa penyidik dari pejabat polri dan Penyidik Pejabat Pegawai negeri sipil (PPNS) memiliki kewenangan sebagai penyidik sesuai bidang masing masing dan berdiri sendiri. Kemudian dalam KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 BAB 1 Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Pasal ini menurut saya bahwa penyidik PPNS dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, Kekuatan hukumnya sesuai dengan undang undang yang menjadi pijakan hukumnya dalam bertindak sebagai penyidik. Walaupun dalam KUHAP telah mengatur secara gamblang tentang Penyidik PPNS termasuk berada dibawah koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Pejabat Polri namun demikian di tegaskan bahwa PPNS dalam tugasnya bersifat mandiri dalam hal penyelidikan kasus kehutanan sebagaimana yang di jelaskan KUHAP juga menyebutkan kewenangan yang sama bagi penyidik pejabat Polri maupun PPNS sebagaimana BAB I Pasal 1 yang di atas.
Finalisasi tugas dari penyidik baik Pejabat Polri maupun PPNS adalah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (KUHAP BAB 1 Pasal 8 Ayat 2). namun kenyataan di lapangan kewenangan dan wilayah ini telah di ambil oleh penyidik polri dari PPNS kehutanan.
Demikian juga dengan UU NOMOR 41 TAHUN 1999 tentang kehutanan yang seharusnya menjadi pijakan yang kuat bagi PPNS kehutanan menjalankan fungsinya. Disini PPNS disandingkan dengan Penyidik Polri. ini tertera dalam BAB XIII Pasal 77 ayat 1. Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kenyataan di lapangan PPNS kehutanan menjadi kerdil perannya ketika disandingkan dengan Pejabat penyidik Polri bahkan terkesan hanya dimintai keterangan tentang kasus kehutanan tidak lebih dari peran saksi ahli.
Kita bandingkan kewenangan para PPNS lintas instansi. Lihat saja UU No 10 thn 1995 tentang pabean Pasal 112: (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. Dalam UU ini penyidik Polri tidak di libatkan dan kewenangan sepenuhnya ke PPNS Pabean. Demikian juga dengan Undang - Undang tentang Perpajakan berbunyi : Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Di undang undang ini “POLRI TIDAK DI LIBATKAN”.
Lalu bagaimana dengan PPNS Kehutanan yang nampak di nomor dua kan berkaitan dengan kalimat “Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”, ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja dari PPNS kehutanan karena kenyataan di lapangan superioritas kewenangan dari Penyidik Polri lebih mendominasi daripada PPNS Kehutanan. Ini sudah terasa di daerah daerah yang nampak sekali PPNS menjadi ompong karena tugasnya sering keduluan atau di ambil oleh pejabat penyidik polri.
Bahkan kejadian yang boleh di bilang tragis saya sempat saksikan sendiri di salah satu kabupaten di wilayah BolMong Raya, beberapa tahun silam, kayu yang di duga ilegal oleh petugas kehutanan di sita untuk di jadikan barang bukti dalam penyidikan oleh PPNS Kehutanan. Kayu sitaan yang di amankan oleh kesatuan Polhut di dinas kehutanan di ambil paksa oleh pihak polri dari ‘tangan’ petugas kehutanan dengan alasan untuk di jadikan barang bukti oleh penyidik polri alhasil kayu tersebut di lepas kembali (raib??) dengan alasan tidak terbukti sebagai pelanggaran hukum. Disini saya meragukan kemampuan polri dalam mengidentifikasi jenis kayu tersebut termasuk batas kawasan hutan serta pembagian jenis hutan beserta hasil hutannya. Saya yakin kejadian ini sudah dan terus terjadi di berbagai wilayah indonesia. Yang lebih aneh lagi di daerah yang SKPD nya tidak memilki PPNS kehutanan ‘maaf’ penyidik polri tidak agresif dalam menyidik sampai mengembangkan kasus kasus kehutanan dan SKPD yang tidak memiliki penyidik ini harus ekstra murni melakukan tugasnya mengamankan hutan.
Bagaimana mengatasi mandulnya PPNS Kehutanan? Tidak lain adalah Berikanlah kepercayaan penuh kepada PPNS kehutanan dan hasilnya pasti akan baik. Kelebihan para Rimbawan Instansi kehutanan dalam mengurusi masalah kehutanan jika di berikan kepercayaan penuh oleh negara (UU) bisa di lihat dalam berbagai hal sebagaimana berikut ini:
Ø Kesigapan polisi kehutanan. Selain satuan Polhut yang terlatih terdapat juga satuan elit polhut yang di kenal sebagai Sporc (satuan polhut reaksi cepat) yang penerimaan anggotanya secara selektif ketat serta mendapat pendidikan semi militer yang mumpuni.
Ø PPNS yang terdidik khusus dalam hal penyidikan dan memahami serta mengetahui seluk beluk kehutanan yang di topang berbagai pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan oleh kementerian Kehutanan. Sehingga bisa di pastikan pengetahuan tentang tindak kejahatan maupun pelanggaran lain di bidang kehutanan lebih di kuasai oleh PPNS kehutanan di bandingkan penyidik Polri. Contoh : identifikasi jenis jenis kayu yg di lindungi serta pembagian kawasan hutan pasti PPNS Kehutanan lebih paham ketimbang Polri
Ø Kader Rimbawan. Yang mulai terbangun sejak dari siswa kehutanan, Rimbawan dari Perguruan Tinggi (mahasiswa kehutanan,para dosen kehutanan) dan para rimbawan dari instansi kehutanan baik kementerian maupun dinas kehutanan yang semuanya memiliki KORSA (ikatan jiwa) rimbawan. Ini merupakan potensi yang bisa saling menopang dalam mengatasi persoalan kehutanan.
Ø Sosial kontrol terkait dengan masalah kehutanan lebih terfokus ke instansi kehutanan.
Ø Idealnya PPNS kehutanan menyerahkan langsung berkas perkara ke penuntut umuM. Dengan pendeknya jalur penyerahan berkas perkara ke penuntut umum maka akan mengecilkan peluang ‘kompromi’ dalam kasus kehutanan.
Ø jika kepercayaan penyidikan di berikan penuh kepada PPNS kehutanan yang memang mumpuni di bidangnya bisa mengurangi beban polri (atau pendapatan??) dan polri bisa kosentrasikan pejabat penyidik nya ke bidang lain yang lebih di pahami oleh polri.
Tulisan saya ini jika di peras akan mendapatkan saripati pemikiran yakni segera Revisi UU NOMOR 41 TAHUN 1999 tentang kehutanan BAB XIII Pasal 77 ayat 1. Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Hapus kalimat ”Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Berikan kepercayaan secara penuh kepada PPNS Kehutanan sebagaimana PPNS pabean dan PPNS perpajakan di percayai oleh negara (pemerintah).
Berikan pekerjaan kepada yang ahlinya maka tunggulah kebaikan yang akan di timbulkannya.
Viva Silvae….. Bravo foresters !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar