#BlogArchive1 .widget-content{ height:100px; width:auto; overflow:auto; }

12 Januari, 2022

Sejarah Raja Raja Manado Abad Ke-17 (Bagian II)

 Konten ini telah tayang di Kompasiana.com Kreator: Patra Mokoginta

Lokasi pengasingan Kaicil Tulo sebelum menjadi Raja Manado

KAICIL TULO

Silsilah Kaicil Tulo.

Garis leluhur Kaicil Tulo di beri tanda dengan kata “bin” yang artinya “anak dari”, berikut silsilahnya di mulai dari Sultan Hamzah : Sultan Hamzah bin Kaicil Tulo bin Khairun Jamil bin Bayanullah bin Zainal Abidin bin Marhum bin Kumala Pulu bin Gapi Baguna bin Momole bin Macahaya bin Abuhayat bin Tulo Malamo bin Sjah Alam bin Arif Malamo bin Ngara Malamo bin Callabata bin Abu Said bin Baab Mansur Malamo bin Syeikh Djafar Noh Al Magribi.

Kaicil Tulo yang dalam catatan Spanyol ditulis Cachil Tulo adalah putra sulung Sultan Khairun Jamil dari Ternate sekaligus kakak tiri dari Sultan Babullah. Kaicil Tulo adalah salah satu raja Manado yang rekam jejaknya juga banyak tercatat dalam dokumen-dokumen Eropa. Di era ini, Raja Manado bukanlah sosok penuh misteri.

Andaya dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kepulauan Rempah Rempah menyebutkan, Sultan Baabullah lahir tanggal 10 Februari 1528 dan wafat tanggal 25 Mei 1583 dalam usia 55 Tahun. Kaicil Tulo disebutkan adalah kakak dari Sultan Baabullah yang berarti Kaicil Tulo lahir sebelum Tahun 1528.

Menurut hasil penelitian dari Jaelan Usman yang berjudul Konflik dan Perubahan Sosial : Study Sosial Politik di Maluku Utara 2006 Kaicil adalah gelar untuk Putra Sultan dan Nyaicil atau Boki untuk Putri Sultan. Jadi Kaicil Tulo berarti Pangeran Tulo, Gelar ini diperoleh karena dia adalah Putra dari Sultan Hairun.

Kiprah Kaicil Tulo sebelum menjadi Raja Manado

Dalam Perang Maluku yang dipimpin Sultan Baabullah, Kaicil Tulo terlibat langsung di medan perang. Ia bahkan menjadi tokoh terpenting setelah Sultan Baabullah jelang detik detik terakhir pemerintahan Portugis di Maluku menyerah tanpa syarat kepada Ternate (Sultan Baabullah). 

Mengutip dari Andaya: ''Pada Tahun 1575, Gubernur Portugis terakhir di dalam benteng  Nuno Pareira de Lacerda, menawarkan perdamaian. Sultan Baabullah mengutus kakaknya, Kaicil Tulo, untuk memberitahu de Lacerda bahwa orang Maluku kini telah bersatu padu dan siap melawan mereka. Tak ada lagi harapan atau pilihan lain yang dapat menyelamatkan mereka, dan jangan sekali-kali berharap bantuan dari luar. Di bawah syarat-syarat yang didiktekan Baab, de Lacerda akhirnya setuju mengakhiri peperangan. Portugis setuju menyerah tanpa syarat. Mereka meminta agar Baab menyediakan perahu untuk mengevakuasi mereka ke Ambon dan keluar meninggalkan Ternate. Portugis lalu menyerah kepada Babullah pada 26 Desember 1575''.

Keberadaan Kaicil Tulo Tahun 1606.

Pada tahun 1606, Kaicil Tulo belum ada di Manado, apalagi berkuasa atas daerah ini. Dokumen tua yang tersusun oleh Scritto da Marco Ramerini dalam  Gli Spagnoli Nelle Isole Molucche 1606-1663/1671-1677 menyebutkan nama nama keluarga yang di deportasi Spanyol ke Manila. Kaicil Tulo dan putranya bernama Kaicil Hamzah termasuk dalam daftar yang dibawa ke Manila sebagai tawanan Spanyol yang kemudian menjadi sekutunya. Nama besar lain yang bermusuhan dengan Spanyol adalah Sultan Saidi.  Scritto da Marco Ramerini menulis,  setelah penaklukan, Acuna memutuskan, demi keamanan sultan dan para pangeran termasuk semua pejabatnya, Spanyol mendeportasi mereka ke Manila dengan total sekitar 30 orang. Sedangkan kesultanan dipercayakan oleh sultan di pengasingan kepada dua pamannya yakni Kaicil Sugui dan Kaicil Quipat. Keputusan Gubernur disampaikan kepada sultan (yang berada di penjara "Purificacion") pada tanggal 1 Mei 1606 oleh seorang Jesuit bernama Luis Fernandes.

Scritto da Marco Ramerini merinci beberapa nama yang dideportasi tersebut masing-masing adalah : il Sultano di ternate, Cachil Sultan Zaide Burey; il figlio del sultano e suo erede, Cachil Sulamp; Cachil Tulo; il figlio del Cachil Tulo, Cachil Cidase (?); Cachil Amura ( Hamza ) cugino del sultano; Cachil Ale; Cachil Naya; Cachil Colanbaboa; Cachil de Rebas; Cachil Pamuia; Cachil Babada; Cachil Barcat; Cachil Suguir; Cachil Gugugu; Cachil Bulefe; il Sangage di Bachan, Bulila; Cachil Maleyto; il Sangage di Maquien; il Sangage di Lacomaconora; oltre ad altri due Cachis che erano considerati come sacerdoti e a tre servi

Dari keterangan di atas, diketahui bahwa Tahun 1606 Cachil Tulo atau Kaicil Tulo tidak berada di Maluku maupun di Manado melainkan di Manila. Ini berarti pada tahun 1606, Kaicil Tulo belum menjadi Raja Manado.

Kaicil Tulo Menjadi Raja Manado.

Veteran perang era Baabullah yang telah berusia uzur ini tercatat dalam dokumen resmi Spanyol sebagai Raja Manado. Namanya juga tercantum dalam Documenta Malucensia sebagai: 'King Kaicil Tulo of Manado. Raja Manado ini disebutkan meminta Fraters melalui Fray Pascual de Torella OFM yang kebetulan melewati Manado pada tanggal 21 Juni 1616. Demikian juga surat-surat Kaicil Tulo sebagai Raja Manado yang terdokumentasikan oleh Spanyol. Namun dalam permintaan itu, D.Jeronimo de Silva menyatakan dirinya tidak dapat menyetujui permintaan Raja Manado ini pada tahun 1616.

Membaca penjelasan Andaya, kita memperoleh keterangan bahwa Kaicil Tulo adalah kakak dari Sultan Baabullah. kelahiran Baabbullah disebutkan tahun 1528. Ini berarti sebagai kakak Baabulah, Kaicil Tulo lahir sebelum 1528. Ini juga memberikan keterangan pada kita bahwa Kaicil Tulo saat tercatat sebagai Raja Manado sudah berusia uzur. Ia mungkin berumur sekitar 89 tahun saat itu. Dialah yang mengajak Spanyol menyerbu Ternate. Kaicil Tulo hidup bersama Spanyol di Manila hingga akhirnya disokong Spanyol menjadi Raja Manado. Spanyol tentu menyokong Kaicil Tulo menaruh tapal kuasanya di Manado, sebagai koalisi yang nantinya akan menghadang duet maut Ternate dan Belanda.

Terkait status pangeran Ternate yang menjadi Raja di Manado ini, saya sependapat dengan David Henley dan Ian Caldwell dalam artikelnya berjudul : Kings And Covenants Stranger-Kings and Social Contract in Sulawesi.  Keterangan kita peroleh dari dua penulis ini: "Keberadaan Raja asing atau raja 'orang luar' dalam kultur masyarakat Sulawesi, secara umum masih terterima. Di samping ketidak-berpihakan mereka, alasan kedua mengapa orang asing bisa menjadi raja adalah karena raja ‘impor’ hanya melahirkan lebih sedikit kecemburuan ketimbang jika dia berasal dari orang dalam, dengan status terberi yang mungkin tidak lebih tinggi daripada bangsawan lain. Dengan status yang diangkat secara artifisial di atas bangsawan lain, dalam teori, seorang raja dapat digantikan oleh salah satu dari kalangan yang sederajat. Kompetisi yang ketat untuk memperebutkan kuasa, status, kekayan dan di atas segalanya,  selalu menjadi ciri khas masyarakat di Sulawesi".

Oleh sebab itulah, Tadohe yang ketika baru saja ditunjuk menggantikan tahta Ayahnya (Mokodompit), pada akhirnya tersingkir dengan kehadiran Kaicil Tulo.

Tulo memang seorang raja yang cerdik setelah berhasil menyingkirkan Tadohe pada tahun 1615, Ia mampu memainkan posisi yang justru membuat Belanda dan Ternate malah merasa nyaman-nyaman saja posisi aliansinya dengan Manado selain karena Kaicil Tulo dianggap sebagai Pangeran dari Ternate. Lopez menyampaikan hal ini: ''No poner en peligro una posible alianza con Ternate''. Hadirnya Kaicil Tulo sebagai Raja Manado justru dianggap tidak membahayakan aliansi dengan Ternate.

Setelah menjadi Raja Manado pada tahun 1616, Kaicil Tulo meminta dukungan Spanyol sehingga persekutuan dengan Spanyol tetap terjaga, dan sekaligus ia nyaman-nyaman saja ketika tak dianggap sebagai musuh Belanda maupun Ternate.

Pada saat Manado dikunjungi oleh Frater Pinto, Kaicil Tulo yang Muslim dibaptis menjadi Kristen pada tahun 1619 sebagaimana tercatat dalam Documenta Malucensia yang menceritakan tentang pertobatan Raja Manado meski pertobatan ini tidak diikuti oleh sang Ratu; ''Ase convertido el rey  y asi  los principals de su reyno. Sola la reyna persevera en su infidelidad”.

Walau tidak menyebut nama Kaicil Tulo namun Huberts Jacobs memberi catatan kaki bahwa Raja yang dimaksud ini bernama Kaicil Tulo. Kakak dari Sultan Baabullah ini saat mengonversi agamanya ke Kristen diperkirakan berusia 91 Tahun.

Dalam Surat Fr. Barrada Manuel untuk Fr. Muzio Vitelleschi, bertanggal 20 November 1619,  dijelaskan juga tentang kunjungan dan pembaptisan ini ; ''Begitu tiba di Manado, Raja dan pangerannya segera menemui kami (Padri Pinto). Setelah turun, kami menemukan salib di pantai, yang kami semua kagumi ketika kami datang dari Ternate dengan penuh sukacita dan penghiburan, para Padri menjadi yang pertama mencium, segera raja, kapten dan lebih banyak prajurit. Suara tembakan musketry yang gempita, dari sini raja membawa kita semua bermukim di perkampungan tepi sungai, namun karena tidak sehat dan karena kami bercampur dengan tentara, kami banyak menderita''.

Dari kutipan di atas di peroleh informasi tentang keberadaan sungai, menandakan tempat yang dimaksud sebagai Manado ini bukan Pulau Manado tapi di daratan besar, dimana dahulu leluhur Raja Mokodompit pernah menempatinya. Hingga tahun 1619  Kaicil Tulo masih terkonfirmasi sebagai Raja Manado, dan tahun ini adalah masa akhir kuasanya atas Manado karena Tadohe yang sebelumnya tersingkir bukan tinggal diam.

selain itu informasi penting lainnya bahwa pangeran atau putra dari Kaicil Tulo juga ternyata sering berada di Manado bersama ayahnya, Pangeran ini tak lain adalah Dom Pedro Acuna yang saat masih beragama Islam bernama Kaicil Hamzah. Kehadiran Pangeran Dom Pedro Acuna di Manado tentu punya maksud lain di mana kita ketahui jarak antara Manado dan Ternate cukup dekat, peristiwa yang terjadi di Ternate dengan cepat dapat terendus dari Manado. Target utama dari Kaicil Tulo adalah menjadikan Pangeran Dom Pedro Acuna atau Kaicil Hamzah sebagai Sultan Ternate atas sokongan Spanyol sebagaimana Spanyol telah menyokong Kaicil Tulo menjadi Raja Manado. Rencana ini pun terlaksana beberapa tahun kemudian.

TADOHE RAJA BOLAANG

Telah di bahas sebelumnya saat Tadohe di tunjuk ayahnya (Mokodompit) untuk menggantikan ayahnya, pemerintahannya di goyang oleh kubu oposisi, bangsa bangsa dalam kerajaan bercerai berai dan salah satu kelompok yang menjadi oposisi adalah kelompok Bolaang,kembali saya mengutip dari Ridel : "kemudijen maka datanglah bangsa Bola-ang itu berparang parangan lagi membakar beberapa tampat pesisir tetapi bertsohbatlah persakutuwan bajik salaku bersaudara marika itu pula pada masanja".

Saat Tadohe tersingkir dari Manado, Tadohe bersama beberapa pengawal setianya mengambil langkah strategis lainnya.  Pergi ke Bolaang Mongondow tepatnya kotabunan, tempat kediaman Bogani Dow. Perjalanan Tadohe menuju Kotabunan terdapat dalam buku Over de voorsten van Bolaang Mongondow karya Dunne bier. Berikut Kutipannya : ''Toen Tadohe' een aankomend jongeling was geworden, ging hij met anderen op reis naar Bolaang Mongondow. Ze werden door een zwaren storm overvallen. Slechts n prauw, die waarin Tadohe' zat, werd op het strand bij de rivier Togid gesmeten''. Terjemahannya : “Ketika Tadohe' telah menjadi seorang pemuda yang bercita-cita tinggi, dia melakukan perjalanan bersama orang lain ke Bolaang Mongondow. Mereka disalip oleh badai besar. Hanya satu prahu yang selamat, prahu tempat Tadohe' duduk,terdampar di pantai di tepi sungai Togid”. Sengaja saya bold pada kata "pemuda yang bercita cita tinggi'' bahwa Tadohe tidak pernah patah arang untuk menggapai cita cita nya kembali sebagai Raja.

Lanjutan dari catatan Dunnebier :”Di wilayah itu (distrik Cotaboenan sekarang) pada waktu itu otoritas dijalankan oleh seorang bogani perempuan, Dow panggilannya. Dia Tinggal bersama ketujuh putranya  di puncak gunung dayow. Suatu hari beberapa anak buahnya pergi ke pantai dan menemukan ada prahu yang terdampar bersama Tadohe' dan dua pendayung yang kelelahan. Mereka segera kembali dan melaporkan kepada Dow,Dow, berkata, "Mungkin mereka adalah bajak laut." Dia ingin melihat sendiri, tetapi dia tidak lagi menemukan anak laki-laki itu di sana, karena anak itu memanjat pohon tolitoi yang berada di sisi air tempatnya berdiri. Setelah mencarinya selama beberapa waktu, mereka melihat air bayangan cermin anak laki-laki yang duduk di cabang sambil kaki kiri berayun. Dan kemudian mereka segera melihat kaki sebenarnya dari anak itu. Segera mereka memilikinya di bawah kendali mereka dan dia diinterogasi. Ketika dia mengatakan dia adalah seorang bangsawan Bolaang-Mongondower, Dow tidak mau percaya begitu saja dan mengujinya”.

Ringkasnya setelah mengalami berbagai ujian dari Dow, akhirnya Tadohe berhasil meyakinkan para Bogani termasuk Dow bahwa dia adalah putra Raja Mokodompit.

Dalam bakid ( Musyawarah adat ) di Mongondow, Tadohe di tetapkan sebagai Raja Bolaang oleh Dewan adat dan di lantik oleh Dow.

Saya berpendapat bahwa Dongue adalah orang yang sama dengan tokoh yang bernama Dow. Tahun 1614 nama Dongue sudah bukan lagi ratu kaidipang, ratu kaidipang tahun ini adalah Bandica, namun tercatat pula Dongue telah murtad dari Kristen dan terlibat dalam pembunuhan orang orang spanyol di Kaidipang tercantum dalam Documenta Malucensia : “Dongue, Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan’’.

Berbeda dengan situasi di Manado, saat Tadohe di tunjuk oleh Mokodompit sebagai Raja, Tadohe mendapat perlawanan dari oposan internal kerajaan Manado terutama kelompok yang di pimpin Lumantut, Di Mongondow setelah Tadohe di lantik secara adat Mongondow yang di pimpin oleh Dow, tidak ada lagi kubu yang menolak Tadohe termasuk masyarakat Bolaang ( pesisir pantai utara) yang pernah menjadi oposannya di Manado beberapa waktu lalu.

Setelah didaulat menjadi Raja Bolaang, Tadohe melakukan berbagai pembenahan. Terdiri dari reformasi birokrasi dan pembenahan di bidang sosial kemasyarakatan. Adat juga dilembagakan dan melahirkan pakta perjanjian antara golongan rakyat dan pemerintah atau dikenal dengan Paloko-Kinalang. 

Berikut ini saya kutip sedikit hasil reformasi dan kebijakan-kebijakan yang lahir di masa Tadohe dikutip dari catatan Dunniebier dalam Over de Vorsten van Bolaang Mongondow, berikut terjemahan bebasnya :

ketika Raja melakukan perjalanan ke Kotabunan atau ke Bolaang, Raja harus ditandu (dipikul), tidak boleh berjalan kaki atau menunggang kuda. (Saat aturan ini dibuat, Tadohe masih tinggal di Tudu In Bakid, desa Pontodon saat ini).

Raja berhak atas satu rumah di Bolaang (di pesisir) dan satu rumah di Mongondow (dataran tinggi/pedalaman).

Ketika Raja meninggal—baik istri, anak atau cucunya—maka  semua orang Bolaang Mongondow harus menghormatinya dengan menyanyikan ratapan, memakai pakaian berwarna hitam, tidak diperbolehkan memakai baju merah, tidak boleh menyalakan lampu selama delapan jam pada malam hari.

Ketika Raja keluar dari rumah, dia harus selalu menggunakan (topi besar), karena jika dia tidak melakukan ini, tanaman tidak bisa tumbuh subur

Di awal periode pemerintahannya, Raja Tadohe fokus melakukan pembenahan sebagaimana dikutip dalam Dunnebier: “setelah lembaga-lembaga tersebut di atas dikukuhkan dengan sumpah , Radja Tadohe' memberikan perintah yang diperlukan mengenai pembangunan rumah, pembangunan jalan desa, dan arahan untuk membuat kebun padi juga jagung”.

Selain memperkuat ekonomi kerajaan, Tadohe mulai mengembangkan angkatan perang kerajaan Bolaang. Kekuatan angkatan perang Bolaang awal abad 17 sebagaimana dikutip pada Lopez menyebutkan: Di sisi lain, Bool (Bulan atau Bohol), tiga hari perjalanan dari selatan Cauripa,  telah mampu membuat mesiu sendiri. Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-17, hegemoninya di daerah itu meningkat, membentuk apa yang di masa depan disebut Bolaang Mongondow. 

Persenjataan angkatan perang berbahan mesiu ini menjadikan kerajaan Bolaang mampu memperkuat hegemoninya di jazirah utara Sulawesi. Aliansi klasik dengan Siau juga terus dipertahankan Tadohe dengan memanfaatkan hubungan kekeluargaan. Tradisi lisan Sangihe menyebutkan ibu dari Tadohe adalah cucu dari Lokonbanua II, selain itu salah satu isteri Tadohe berasal dari Tabukan, anak Raja Tabukan yang bernama Boki Rasingan.

Tadohe Raja Manado (Periode kedua)

Dengan kekuatan armada perang yang telah terkonsolidasi, saatnya bagi Tadohe kembali ke Manado. Tujuannya jelas, ia hendak menuntut tahtanya yang pernah kandas akibat ulah para oposan yang diperparah dengan kedatangan Kaicil Tulo dari Manila ke Manado dan mendudukinya.

Beberapa saat sebelum kedatangan Tadohe menuntut tahtanya, Kaicil Tulo rupanya sudah digoyang lebih dulu oleh faksi yang pernah menolak tahta Tadohe. Tradisi di Mongondow menuturkan, faksi yang rupanya masih subur ini adalah faksi warisan yang oleh Riedel ditulis Loementoel atau Loemantoet atau Loemoentoek (Lumantut atau Lumuntuk; bhs.Mongondow),Tapi itu tak masalah bagi Tadohe. Armadanya telah cukup kuat dan terkonsolidasi. Kaicil Tulo yang uzur seolah telah menantikan Tadohe yang mendapat perlawanan dari faksi bajak laut yang mulanya mendukung Kaicil Tulo kemudian terkonsolidasi oleh warisan Lumantut.

Selanjutnya adalah Tadohe memusatkan pemerintahannya di daratan besar, yang berdekatan dengan sungai tempat domisili mantan Raja Manado, Kaicil Tulo.

Setelah menguasai dan menjadi Raja Manado, Tadohe memusatkan perhatiannya untuk menundukkan kubu oposisi terutama faksi Batasina (Halmahera) di sekitaran perairan Manado hingga Belang. Kelompok yang paling terkenal dari faksi batasina ini adalah Loloda. Menguasai Manado dan mengabaikan kekuatan kelompok Loloda akan berbahaya bagi eksistensi kerajaan Manado. Loloda salah satu pengembara laut yang paling disegani di perairan Sulawesi Utara hingga Teluk Tomini.

Jika kita memperhitungkan tahun kelahiran putra mahkota (Loloda Mokoagow) anak dari Tadohe dengan memperhatikan umur saat putra mahkota dibaptis pada tahun 1637 atau 1638 dalam usia 17 atau 16 tahun, sehingga penaklukan faksi Loloda terjadi antara tahun 1620 - 1621.

Dari data ini dikaitkan dengan tradisi lisan Bolaang Mongondow terkait kelahiran Putra Mahkota bernama Moco atau Mocoago, hasil wawancara saya dengan sejarahwan Bolaang Mongondow, Anwar Syukur (Almarhum) tahun 2010 silam, Anwar menuturkan bahwa kelahiran putra Tadohe yang bernama Mokoagow bersamaan dengan peristiwa berhasilnya Tadohe mengalahkan dan merampas Kora-kora faksi Loloda dari Halmahera (Batachina), sehingga pangeran bernama Mokoagow ini selalu disapa dengan sebutan Loloda, guna mengenang peristiwa besar ini. Takluknya orang-orang Loloda ini di catat oleh Padtbrugge dalam  Het Journaal Van Padtbrugge's Reis Naar Noord-Celebes En De Noordereilanden :  "De vader van den tegenwoordigen Koning van Boelang, wezende toen mede Koning van Manado en Loloda genaamd" artinya :Ayah dari Raja Boelang (Loloda Mokoagow) saat ini disebut juga sebagai Raja Manado dan Loloda. Gelar yang hanya berlaku kepada Tadohe sebab keturunannya kelak tidak adalagi yang di sebut sebagai Koning Manado en Loloda tetapi akan di sebut sebagai Koning Boelang en Mogonde (era Salmon Manoppo).

Tahun 1620 Manado benar-benar lepas dari kekuasaan Kaicil Tulo. Informasi tentang Raja Manado paska Kaicil Tulo terkonfirmasi dalam Documenta Malucensia pada bagian report on Manado (Ternate, Second Half Of 1620) oleh para rabi yakni FR. Manuel De Avevedo, visitor Maluku, untuk FR. Andre Palmeiro, visitor India. Diperoleh keterangan dari para rabi bahwa, orang-orang (Manado) sangat tidak mampu menerima iman. Hanya ada 50 orang yang dibaptis, tetapi mereka adalah orang Kristen dalam nama saja. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Raja telah menikahi wanita Moor/ Islam (rey se tornou a cazar comhuma moura). Satu-satunya harapan adalah penaklukan itary, tetapi orang-orang Spanyol tidak tertarik dengan itu. Gubernur berencana untuk menarik tentara dari Manado. Semua Jesuit dan anak laki-laki jatuh sakit, dan Pdt. Scalamonti meninggal. Jika Gubernur memanggil kembali tentara, maka para rabi (frater) harus kembali juga. Posisi berisiko orang Spanyol tidak mengizinkan tindakan orisinil.

Keterangan soal Raja Manado telah menikahi wanita Moor/Islam diberi catatan kaki oleh Hubert Jacob bahwa Raja Manado memiliki beberapa Isteri, salah satunya perempuan Islam yang dinikahi raja. Perempuan ini bukan Istri satu-satunya dan masih diberi tanda tanya apakah perempuan ini yang menjadi Ratu? Dokumen pada tahun 1638 dan tahun sesudahnya telah nyata bahwa Isteri raja ini adalah seorang ratu, Queen of Manado atau sebutan lainnya Reyna de Bolan. Ini juga sebagai bukti bahwa islam telah eksis di jazirah utara Sulawesi setidaknya pada awal abad 17 di mana keluarga Kijaba ( reyna de bolan) adalah muslim.

Dari laporan ini di peroleh informasi tentang kondisi keimanan Kristen di Manado dimana masih banyak orang orang Manado yang kekristenannya hanya dalam nama saja tapi perilakunya jauh dari Kristen. Selain telah beralih ke Islam, pengamal budaya pagan juga masih kental. Laporan ini menggambarkan kesulitan yang dialami oleh misi Jesuit asal Portugis, selain menderita penyakit (sakit) perhatian Spanyol terhadap misi ini mulai berkurang terlebih Raja Manado tidak membantu sepenuh hati.

Informasi penting lainnya nama Kaicil Tulo sudah tidak disebutkan lagi sebagai Raja. Andaikata Kaicil Tulo saat kunjungan ini masih hidup maka kakak dari Sultan Baabullah ini sudah pada usia Uzur yakni 94 tahun. Ratu yang menolak di Baptis oleh Fr Pinto adalah orang berbeda dengan Istri Raja dari kalangan Moor (Islam) yang baru dinikahi Raja Manado. Artinya raja yang dibahas dalam report on Manado 1620 (Documenta Molucensia) bukan lagi Kaicil Tulo tapi Tadohe.

Buktinya saat di kunjungi Fr Pinto tahun 1619, Isteri Kaicil Tulo sudah disebut sebagai Ratu, berarti perkawinan Raja sudah terjadi sebelum Tahun 1619, sementara itu Raja Manado yang dibahas dalam Report on Manado (Documenta Molucensia) baru menikahi seorang perempuan Muslim saat itu yakni tahun 1620 sehingga anaknya yang disebut Putra Mahkota oleh Aritonang dan disebut Moco dalam Documenta Malucensia, saat dikirim ke Ternate 17 tahun kemudian  (pada Tahun 1637-1638 ) dikabarkan berusia 16  atau 17 tahun.

Ada hal yang menarik terkait pasang surutnya keimanan keluarga raja yakni sang raja memeluk Kristen dan Isterinya adalah pemeluk Muslim dari Tahun 1620 hingga tahun 1630-an hidup dalam kebudayaan tradisional yang cenderung paganism sebagaimana laporan Jesuit tahun 1620.

Tradisi lisan dari Bolaang Mongondow mengungkapkan bahwa awalnya Tadohe menolak ritual Monibi, ritual pengobatan dengan mengundang arwah-arwah leluhur. Suatu waktu anak Tadohe yang masih kecil jatuh sakit dan diobati oleh 'dokter istana' namun tidak sembuh. Setelah diobati melalui upacara ritual Monibi, sang anak lantas sembuh. Akhirnya Tadohe yang Kristen ini menganjurkan di seluruh wilayah kerajaan agar mendirikan kuil untuk arwah para leluhur.

Ritual yang awalnya kurang dikenal Tadohe yang lahir di Siau dan dibesarkan di Manado. Tapi Tadohe memang seorang yang cerdas dan tahu menegaskan dirinya sekalipun dalam budaya pagan. Perilaku pagan yang bertentangan dengan iman Kristiani ini juga di catat oleh Dunnebier berdasarkan tutur dari para bangsawan dan tetua adat di zamannya, berikut kutipannya : “Tadohe ini adalah orang yang sangat berpengaruh, seseorang yang tahu bagaimana menegaskan dirinya sendiri. Pengaruh tersebut juga menjadi saksi dari fakta bahwa dengan upacara pengorbanan tingkat desa lewat ritual Monibi, di halaman kepala desa didirikan 2 kuil yang dibuat terpisah satu sama lain. Di salah satunya dua patung ditempatkan, yang harus mewakili Tadohe dan Istrinya”.

Ini yang dikeluhkan para Jesuit dalam report on Manado [Ternate, Second Half Of 1620] Documenta Molucensia : “Mereka adalah orang Kristen dalam nama saja”. Kalimat ini merujuk ke perilaku paganism dalam masyarakat, dan Raja Tadohe yang Kristen inipun terlibat dalam praktek pagan bersama Isterinya yang muslim dengan menyisipkan syarat tambahan patung Tadohe dan Isterinya (Kijaba) dalam rumah / kuil pemujaan atau pengurbanan.

Dengan status sebagai Raja Manado dan Loloda (Koning Manado en Loloda), kekuasaan Tadohe atas Manado tak tergoyahkan lagi. Satu persatu kubu oposisi yang pernah menentangnya kini sudah sepihak dengan Raja Tadohe. Pertama kelompok Bolaang yang pernah menolak Tadohe sebagaimana saya kutip dalam Ridel kemudian kelompok Batasina dan terakhir kelompok Lumantut.

Sementara itu konstalasi regional terus bergerak dinamis, Kaicil Tulo yang tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaanya atas Manado, berhasil menjadikan putranya sebagai Sultan Ternate atas bantuan Spanyol. Tanda awas untuk Raja Manado, Tadohe. Mengutip dari M. Adnan Amal : “Tahun 1627, putra dari kaicil Tulo yang bernama Kaicil Hamzah di lantik menjadi Sultan Ternate. Kaicil Hamzah saat di Manila di baptis dengan nama Don Pedro Acuna. Sultan Hamzah saat di dukung oleh Spanyol menuju Tahta Sultan Ternate, namun situasi berbalik, saat akan di Lantik Kaicil Hamzah Kembali masuk Islam. Saat menjadi Sultan, Hamzah berpihak ke Belanda dan melepaskan diri dari Pengaruh Spanyol. Beberapa saat setelah Kaicil Hamzah di lantik menjadi sultan, di bentuk Ekspedisi Kaicil Ali untuk menundukan Daerah daerah seberang laut termasuk Sulawesi, dengan kekuatan 27 Juanga dan pasukan 1500 personil, tahun berikutnya di perbesar hingga 30 Juanga”. Ekspedisi Kaicil Ali tidak sampai di Sulawesi Utara tahun 1632 Kaicil Ali wafat di Buton.

Kini Ternate benar-benar terlepas dari genggaman Spanyol. Ternate dibawah Pemerintahan putra Kaicil Tulo yang bersekutu dengan Belanda mulai mengarahkan pengaruhnya di wilayah yang dipengaruhi oleh Spanyol. Dan Raja Tadohe harus memperkuat aliansi guna melawan pengaruh Ternate. Raja Tadohe yang sudah lama bersekutu dengan Siau juga berupaya menjalin persekutuan langsung dengan pihak Spanyol, apalagi di tahun 1630-an Tadohe mulai menghadapi faksi faksi lokal.

Kesan kurang baik dari saat para misionaris berkunjung ke manado di tahun 1620, berubah total demi menjalin aliansi dengan Spanyol. Tahun 1638 (menurut Aritonang;1637) Raja Tadohe bersama keluarganya melakukan pertobatan Kristen. Ratu bersama anak-anaknya dibaptis.

Dalam Documenta Malucensia pada bagian Surat laporan Tahunan, Scholastic Diogo Da Fonseca, Commissioned  dari Fr. Provincial,untuk Fr. Muzio Vitelleschi, General, Rome (Desember 1644), peristiwa tahun 1638 yang terjadi atas keluarga kerajaan Manado dilapor kembali. Isinya adalah menyebutkan bahwa,  ratu dan anak-anaknya, pada tahun masehi 1638, meninggalkan kehidupan berhala (dibaptis dan menjadi Kristen). Kepada raja yang telah setia pada waktu itu, kembali memperbaiki pernikahannya di depan Gereja.

Keterangan lain yang juga penulis kutip dalam Documenta Malucensia, penyebutan Ratu Bulan untuk Isteri Raja Manado ini. Berikut kutipannya : “Entre los que se bautizaron huvo una mora de mucha importancia, por ser madre del maestro de campo desta y isla y cunado del rey della, y de la reyna de Bolan”. artinya : “Diantara mereka yang dibaptis ada seorang Moor (Islam) yang sangat penting. karena menjadi ibu dari pemimpin di pulau ini dan ipar dari raja serta ratu dari Bolan. (Bolan yang dimaksd adalah Bolaang)”.

Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink  dalam buku A History Of Christianity in Indonesia juga menyebutkan perihal ini tapi tidak mematok tahun 1638 : ''dalam tahun 1637 putra mahkota Manado dan Siau di kirim ke Ternate untuk mendapatkan didikan Jesuit. Manado di kunjungi dari Siau dan di tahun yang sama ratu dan anak anaknya dibaptis''.

Isteri raja yang di tercatat dalam Documenta Molucensia dengan sebutan Reyna de Bolan (Ratu Bolaang) atau oleh Aritonang di sebut sebagai Queen of Manado, pada dasarnya gambaran kedudukan domisili Raja.  Tadohe selain Raja Bolaang (Rey de Bolan) juga sebagai Raja Manado (Rey de Manado). Peristiwa ini terjadi di saat Kaicil Tulo telah wafat. Andaikan Kaicil Tulo masih hidup maka usianya sudah sangat uzur yakni 111 tahun. Raja dan keluarga Raja ini dipastikan Raja Manado yang di temui Jesuit tahun 1620, bukan Kaicil Tulo tapi Tadohe.

Untuk menghadapi kemungkinan agresi dari putra Kaicil Tulo yang telah menjadi Sultan Ternate (Sultan Hamzah) serta menghadapi pemberontakan lokal, Raja Tadohe berupaya keras menjalin hubungan dengan Spanyol. Untuk meningkatkan kepercayaan Spanyol terhadap Raja Tadohe, Raja Manado ini mengirim pewaris tahtanya ke Ternate guna mendapatkan didikkan Spanyol sebagaimana catatan dalam Documenta Molucensia. Pangeran ini bernama Mokoagow yang dalam Documenta Molucensia di catat sebagai Moco

Lebih lanjut laporan ini menyebutkan,  selain Raja Manado, ada 40 liga dari Ternate dikirim untuk meminta bantuan Gubernur D. Pedro de Mindiola melawan beberapa pemberontaknya. Raja Manado (Tadohe) juga mempercayakan ahli waris mudanya yang berusia 16 hingga 17 tahun untuk dibina bersama orang Spanyol, dan meminta para Bapa untuk membaptiskan mereka. Disebutkan juga bahwa Moco dibesarkan di rumah Jesuit  bersama dengan pangeran Siau yang seusianya.  

Dari catatan di atas, di peroleh informasi antara lain, Raja Manado menghadapi pemberontakan di wilayahnya. Raja Manado memohon bantuan dari pihak spanyol untuk menghadapi pihak oposisi yang memberontak. Untuk memperlihatkan harapan akan bantuan dan kepercayaan pihak Spanyol dia mengirim putra pewarisnya yang berusia dari 16 hingga 17 tahun  bersama pangeran Siau.  Pangeran Siau (Don Ventura) dan Pangeran Manado ( Moco ) umurnya sebaya dan dibesarkan dalam binaan Spanyol. Keakraban antara Pangeran Siau  (Ventura) dan  Pangeran Manado (Moco) berlanjut hingga kelak mereka berkuasa menjadi Raja. Dikabarkan pula bahwa orang-orang melayu banyak yang lari menyelamatkan diri dan mereka di selamatkan oleh kapal Galleon.

Sampai Tahun 1640-an hubungan Manado dengan Spanyol di Ternate terjalin erat. Menurut Lopez, terlepas dari segalanya, kehadiran tentara di Manado tetap ada, karena meskipun langka dan terputus-putus, pasti selalu ada garnisun yang menjadi saksi aliansi antara Manado dan Spanyol. Jika garnisun ini tidak ada,setidaknya terjalin komunikasi reguler antara Ternate dan Manado agar tidak merusak aliansi.

Namun memasuki tahun 1642, terjadi konflik besar antara orang orang Spanyol dengan rakyat kerajaan Manado. Lopez menulis,  pada tahun 1642 beberapa desa (disebut Meados) dari kerajaan Manados bangkit melawan Spanyol, tampaknya karena perilaku orang-orang Spanyol di pedalaman dan dataran tinggi. Sekitar 22 orang Spanyol terbunuh dalam sebuah insiden di pedalaman. Dan Jesuit menjadi martir dalam konflik tersebut.

Raja Manado yang khawatir akan ada aksi balas dendam dari Spanyol, kini ia berupaya membangun aliansi baru dengan pihak Ternate-Belanda. Ia lantas mengutus delegasi ke Ternate meminta bantuan dari Belanda untuk menghadapi Spanyol di tahun 1643. David Henley menyebutkan,  “Catatan VOC, bagaimanapun, menunjukkan bahwa meskipun utusan dari Sulawesi Utara memang mencari perlindungan Belanda dari musuh Spanyol pada tahun 1643 dan 1654, mereka datang dua kali atas nama raja Manado dan Bolaang, bukan (atas nama) komunitas dataran tinggi (suku-suku alifuru)”.

Stella Mantiri dalam bukunya berjudul Datoe Binankang, Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara, menulis : “Untuk mencegah jangan sampai orang Spanyol yang berada di Manila membalas dendam maka Raja Manado pun meminta bantuan belanda di Ternate, maka hal ini di laporan oleh Wouter Seroijen pada tanggal 21 April 1644 kepada Gubernur General dan Dean pensaheta bahwa bulan februari muncul di benteng melayu Ternate sebuah perahu kecil dari Bandar Manado, membawa 8 awaknya yang atas nama Raja mereka memintakan kepada belanda dan Ternate perlindungan menghadapi bangsa Spanyol’”.

Utusan Raja Manado yang berangkat sekitar akhir tahun 1643 tiba di Ternate bulan Februari 1644, dan diterima secara resmi 2 bulan kemudian. Melihat waktu pengiriman para utusan kerajaan Manado di tahun 1643 maka dipastikan Raja Manado yang di maksud adalah Raja Tadohe ayah dari Raja Loloda Mokoagow. Upaya kerja sama dengan Belanda melawan Spanyol inipun dilanjutkan oleh Raja Loloda Mokoagow Putra dari Raja Tadohe.

Dari uraian David Henley ini, bisa di lihat peliknya situasi saat itu. Suku suku alifuru di pedalaman terpecah dukungannya, kelompok kelompok alifuru lain (Tonsea, Tombulu dan lain lain ) berada dengan barisan Raja Manado-Bolaang melawan Spanyol yang di dukung oleh kelompok kelompok alifuru dari Tondano.

Tondano  sejak pecah perlawanan melawan Spanyol sejak tahun 1642 hingga tahun 1660 masih menjadi loyalis utama Spanyol di pedalaman melawan Manado-Bolaang yang didukung oleh Belanda-Ternate. Dikatakan Lopez : “Padahal benar Belanda berhasil membuat Manado pada tahun 1660 putus dengan Spanyol, beberapa suku pedalaman masih berbaris di samping Spanyol. Mereka adalah penghuni La Laguna atau Tondano, sekitar 30 kilometer dari Manado”.

Di wilayah pedalaman, sesama suku alifuru sering terjadi pertikaian, ini nampak pada perlawanan terhadap Spanyol tahun ini, ketika suku Tonsea, Tombulu dan lain-lain berbaris bersama Raja Manado-Bolaang, Tondano bagian dari “anak sungai’’ Suku Tonsea memperkuat posisinya bergabung dengan Spanyol. Ini sebagaimana ulasan Lopez : “Alasan keterlibatan ini dapat ditemukan dalam berbagai alasan, yang utamanya adalah posisi mereka sebagai anak sungai dari kelompok etnis Tonsea. (lebih jauh ke utara dan bertanggung jawab atas Pemberontakan anti-Spanyol tahun 1644), dengan demikian aliansinya dengan Spanyol itu akan memperkuat posisinya di depan para pemuka suku’”.

Tahun 1644 merupakan tahun yang paling bersejarah untuk Manado-Bolaang. Perlawanan Sporadis Kerajaan Manado bersama rakyatnya yang terdiri dari berbagai macam suku alfur pedalaman melawan Spanyol yang di dukung oleh suku utama di pedalaman (Tondano). Perang terbesar yang terjadi di tahun ini, mengutip dari Lopez :  “garnisun Spanyol masih berada di Manado sekarang akan menghadapi pemberontakan lokal paling kejam sampai saat ini: pemberontakan 10 Agustus 1644”.

Di tahun ini, putra mahkota Manado yang di kenal sebagai Moco atau Mocoago yang di tahun-tahun sebelumnya telah mendapakan pendidikan Spanyol di Ternate bersama Pangeran Siau, dilantik sebagai Raja Manado menggantikan Ayahnya sebagaimana pendapat Stella Mantiri; Loloda Mokoagow menjadi Raja Manado pada tahun 1644, Pangeran yang mendapat ilmu dari Spanyol yang kelak menjadi musuh utama Spanyol juga di Sulawesi utara.

Raja Manado yang bernama Kristen Dom Fernando.

Keterangan satu satunya yang saya temukan tentang Raja Manado yang bernama Kristen Dom Fernando terdapat dalam “Documenta Malucensia”  yang tercantum dalam Laporan Frater. Andre Lopes, dari Commission Of Fr. Provincial,untuk Fr. General, Rome Tahun 1644; ''De Tarnate a Manados so 30 legoas por mar. O rey h christo, chama-sse Dom Fernando'' terjemahan bebasnya; "Dari Ternate ke Manado itu adalah 30 legoas melalui laut (115 mil), Rajanya seorang Kristen yang dikenal sebagai Dom Fernando''.

Walau tarikhnya bulan desember tahun 1644 namun di beri keterangan bahwa “the information on the Maluku mission does not give the actual situation of 1644”. Saya juga sependapat bahwa informasi ini bukan actual yang terjadi pada bulan Desember 1644, mengingat bahwa pada bulan agustus tahun 1644 terjadi pemberontakan besar besaran melawan Spanyol yang di dukung oleh suku alifuru di sekitar danau Tondano,suatu peristiwa yang sangat perih di rasakan oleh Spanyol namun tidak muncul dalam laporan ini sehingga di pastikan bahwa informasi ini menggambarkan situasi manado sebelum Agustus 1644. Yang berarti Raja Manado yang bernama Kristen Dom Fernando adalah Raja Manado yang mengirim utusannya ke Ternate tahun 1643 yang tiba di Ternate pada bulan Februari 1644 dan di terima secara resmi oleh VOC pada bulan April tahun 1644. Tidak lain adalah Tadohe

Mengutip Kembali dari David Henley : “utusan dari Sulawesi Utara memang mencari perlindungan Belanda dari musuh Spanyol pada tahun 1643 dan 1654, mereka datang dua kali atas nama raja Manado dan Bolaang, bukan (atas nama) komunitas dataran tinggi (suku-suku alifuru)”. Dari sini di ketahui bahwa Raja yang mengirim utusan ini adalah Raja Manado sekaligus juga Raja Bolaang yang tidak lain adalah Tadohe koning van Manado en Loloda.

Maka terjawab sudah bahwa Dom Fernando adalah Raja Tadohe putra dari Raja Mokodompit. Dia mendapat nama Kristen setelah melakukan pertobatan tepatnya tahun 1638. Raja beserta istrinya ( Reyna de Bolan) termasuk anak anaknya Kembali di Baptis bahkan perkawinan mereka di perbaiki lagi di depan gereja. Imannya Kembali di saat berusia uzur.

Menurut Stella B Mantiri, Loloda Mokoagow resmi dilantik menjadi raja pada tahun 1644 (pada usia 23 Tahun). Maka di tahun 1644 inilah berakhirnya masa pemerintahan Raja Tadohe, Rey Cristiao Dom Fernando, Koning van Manado en Loloda, anak dari Raja Mokodompit dan Gogune. Ia digantikan sang putra mahkota, El Moco, Mocoago, yang kemudian dikenal dengan Loloda Mokoagow

Bersambung ke Bagian III


Sumber data yang di olah :

  • Abdulrahman, Paramatiha R.  Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
  • Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
  • Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel.  A History Of Christianity in Indonesia. 2008
  • Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
  • Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
  • Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
  • Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
  • Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia . 1984
  • Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
  • Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
  • Riedel,J.G.F.  Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
  • P.J.B.C. Robid Van Deer Aa.  De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw 
  • Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
  • W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar