Konten ini telah tayang di Kompasiana.com Kreator: Patra Mokoginta
Lokasi pengasingan Kaicil Tulo sebelum menjadi Raja Manado |
KAICIL TULO
Silsilah Kaicil Tulo.
Garis leluhur Kaicil Tulo di
beri tanda dengan kata “bin” yang artinya “anak dari”, berikut silsilahnya di mulai dari
Sultan Hamzah : Sultan Hamzah bin Kaicil Tulo bin Khairun Jamil bin
Bayanullah bin Zainal Abidin bin Marhum bin Kumala Pulu bin Gapi Baguna bin
Momole bin Macahaya bin Abuhayat bin Tulo Malamo bin Sjah Alam bin Arif Malamo
bin Ngara Malamo bin Callabata bin Abu Said bin Baab Mansur Malamo bin Syeikh
Djafar Noh Al Magribi.
Kaicil Tulo yang dalam
catatan Spanyol ditulis Cachil Tulo adalah putra sulung Sultan Khairun Jamil
dari Ternate sekaligus kakak tiri dari Sultan Babullah. Kaicil Tulo adalah
salah satu raja Manado yang rekam jejaknya juga banyak tercatat dalam
dokumen-dokumen Eropa. Di era ini, Raja Manado bukanlah sosok penuh misteri.
Andaya dalam bukunya yang
berjudul Sejarah Kepulauan Rempah Rempah menyebutkan, Sultan Baabullah lahir
tanggal 10 Februari 1528 dan wafat tanggal 25 Mei 1583 dalam usia 55 Tahun.
Kaicil Tulo disebutkan adalah kakak dari Sultan Baabullah yang berarti Kaicil
Tulo lahir sebelum Tahun 1528.
Menurut hasil penelitian dari Jaelan Usman yang berjudul Konflik dan Perubahan Sosial : Study Sosial Politik di Maluku Utara 2006 Kaicil adalah gelar untuk Putra Sultan dan Nyaicil atau Boki untuk Putri Sultan. Jadi Kaicil Tulo berarti Pangeran Tulo, Gelar ini diperoleh karena dia adalah Putra dari Sultan Hairun.
Kiprah Kaicil Tulo sebelum menjadi Raja Manado
Dalam Perang Maluku yang
dipimpin Sultan Baabullah, Kaicil Tulo terlibat langsung di medan perang. Ia
bahkan menjadi tokoh terpenting setelah Sultan Baabullah jelang detik detik
terakhir pemerintahan Portugis di Maluku menyerah tanpa syarat kepada Ternate
(Sultan Baabullah).
Mengutip dari Andaya: ''Pada
Tahun 1575, Gubernur Portugis terakhir di dalam benteng Nuno
Pareira de Lacerda, menawarkan perdamaian. Sultan Baabullah mengutus kakaknya,
Kaicil Tulo, untuk memberitahu de Lacerda bahwa orang Maluku kini telah bersatu
padu dan siap melawan mereka. Tak ada lagi harapan atau pilihan lain yang dapat
menyelamatkan mereka, dan jangan sekali-kali berharap bantuan dari luar. Di
bawah syarat-syarat yang didiktekan Baab, de Lacerda akhirnya setuju mengakhiri
peperangan. Portugis setuju menyerah tanpa syarat. Mereka meminta agar Baab
menyediakan perahu untuk mengevakuasi mereka ke Ambon dan keluar meninggalkan
Ternate. Portugis lalu menyerah kepada Babullah pada 26 Desember 1575''.
Keberadaan Kaicil Tulo Tahun 1606.
Pada tahun 1606, Kaicil Tulo
belum ada di Manado, apalagi berkuasa atas daerah ini. Dokumen tua yang
tersusun oleh Scritto da Marco Ramerini dalam Gli Spagnoli Nelle Isole
Molucche 1606-1663/1671-1677 menyebutkan nama nama keluarga yang di deportasi
Spanyol ke Manila. Kaicil Tulo dan putranya bernama Kaicil Hamzah termasuk
dalam daftar yang dibawa ke Manila sebagai tawanan Spanyol yang kemudian
menjadi sekutunya. Nama besar lain yang bermusuhan dengan Spanyol adalah Sultan
Saidi. Scritto da Marco Ramerini menulis, setelah penaklukan, Acuna
memutuskan, demi keamanan sultan dan para pangeran termasuk semua pejabatnya,
Spanyol mendeportasi mereka ke Manila dengan total sekitar 30 orang. Sedangkan
kesultanan dipercayakan oleh sultan di pengasingan kepada dua pamannya yakni
Kaicil Sugui dan Kaicil Quipat. Keputusan Gubernur disampaikan kepada sultan
(yang berada di penjara "Purificacion") pada tanggal 1 Mei 1606 oleh
seorang Jesuit bernama Luis Fernandes.
Scritto da Marco Ramerini
merinci beberapa nama yang dideportasi tersebut masing-masing adalah : il
Sultano di ternate, Cachil Sultan Zaide Burey; il figlio del sultano e suo
erede, Cachil Sulamp; Cachil Tulo; il figlio del Cachil Tulo, Cachil Cidase
(?); Cachil Amura ( Hamza ) cugino del sultano; Cachil Ale; Cachil Naya; Cachil
Colanbaboa; Cachil de Rebas; Cachil Pamuia; Cachil Babada; Cachil Barcat;
Cachil Suguir; Cachil Gugugu; Cachil Bulefe; il Sangage di Bachan, Bulila;
Cachil Maleyto; il Sangage di Maquien; il Sangage di Lacomaconora; oltre ad
altri due Cachis che erano considerati come sacerdoti e a tre servi.
Dari keterangan di atas,
diketahui bahwa Tahun 1606 Cachil Tulo atau Kaicil Tulo tidak berada di Maluku
maupun di Manado melainkan di Manila. Ini berarti pada tahun 1606, Kaicil Tulo
belum menjadi Raja Manado.
Kaicil Tulo Menjadi Raja Manado.
Veteran perang era Baabullah
yang telah berusia uzur ini tercatat dalam dokumen resmi Spanyol sebagai Raja
Manado. Namanya juga tercantum dalam Documenta Malucensia sebagai: 'King Kaicil
Tulo of Manado. Raja Manado ini disebutkan meminta Fraters melalui Fray Pascual
de Torella OFM yang kebetulan melewati Manado pada tanggal 21 Juni 1616. Demikian juga surat-surat Kaicil Tulo sebagai Raja Manado yang
terdokumentasikan oleh Spanyol. Namun dalam permintaan itu, D.Jeronimo de Silva
menyatakan dirinya tidak dapat menyetujui permintaan Raja Manado ini pada tahun
1616.
Membaca penjelasan Andaya,
kita memperoleh keterangan bahwa Kaicil Tulo adalah kakak dari Sultan
Baabullah. kelahiran Baabbullah disebutkan tahun 1528. Ini berarti sebagai
kakak Baabulah, Kaicil Tulo lahir sebelum 1528. Ini juga memberikan keterangan
pada kita bahwa Kaicil Tulo saat tercatat sebagai Raja Manado sudah berusia
uzur. Ia mungkin berumur sekitar 89 tahun saat itu. Dialah yang mengajak
Spanyol menyerbu Ternate. Kaicil Tulo hidup bersama Spanyol di Manila hingga
akhirnya disokong Spanyol menjadi Raja Manado. Spanyol tentu menyokong Kaicil
Tulo menaruh tapal kuasanya di Manado, sebagai koalisi yang nantinya akan
menghadang duet maut Ternate dan Belanda.
Terkait status pangeran
Ternate yang menjadi Raja di Manado ini, saya sependapat dengan David Henley
dan Ian Caldwell dalam artikelnya berjudul : Kings And Covenants Stranger-Kings
and Social Contract in Sulawesi. Keterangan kita peroleh dari dua penulis
ini: "Keberadaan Raja asing atau raja 'orang luar' dalam kultur
masyarakat Sulawesi, secara umum masih terterima. Di samping ketidak-berpihakan
mereka, alasan kedua mengapa orang asing bisa menjadi raja adalah karena raja
‘impor’ hanya melahirkan lebih sedikit kecemburuan ketimbang jika dia berasal
dari orang dalam, dengan status terberi yang mungkin tidak lebih tinggi
daripada bangsawan lain. Dengan status yang diangkat secara artifisial di atas
bangsawan lain, dalam teori, seorang raja dapat digantikan oleh salah satu dari
kalangan yang sederajat. Kompetisi yang ketat untuk memperebutkan kuasa, status,
kekayan dan di atas segalanya, selalu menjadi ciri khas masyarakat di
Sulawesi".
Oleh sebab itulah, Tadohe
yang ketika baru saja ditunjuk menggantikan tahta Ayahnya (Mokodompit), pada
akhirnya tersingkir dengan kehadiran Kaicil Tulo.
Tulo memang seorang raja yang
cerdik setelah berhasil menyingkirkan Tadohe pada tahun 1615, Ia mampu memainkan
posisi yang justru membuat Belanda dan Ternate malah merasa nyaman-nyaman saja
posisi aliansinya dengan Manado selain karena Kaicil Tulo dianggap sebagai Pangeran dari Ternate. Lopez menyampaikan hal ini: ''No poner en peligro una
posible alianza con Ternate''. Hadirnya Kaicil Tulo sebagai Raja Manado
justru dianggap tidak membahayakan aliansi dengan Ternate.
Setelah menjadi Raja Manado
pada tahun 1616, Kaicil Tulo meminta dukungan Spanyol sehingga persekutuan
dengan Spanyol tetap terjaga, dan sekaligus ia nyaman-nyaman saja ketika tak
dianggap sebagai musuh Belanda maupun Ternate.
Pada saat Manado dikunjungi
oleh Frater Pinto, Kaicil Tulo yang Muslim dibaptis menjadi Kristen pada tahun
1619 sebagaimana tercatat dalam Documenta Malucensia yang menceritakan tentang
pertobatan Raja Manado meski pertobatan ini tidak diikuti oleh sang Ratu; ''Ase
convertido el rey y asi los principals de su reyno. Sola la reyna
persevera en su infidelidad”.
Walau tidak menyebut nama
Kaicil Tulo namun Huberts Jacobs memberi catatan kaki bahwa Raja yang dimaksud
ini bernama Kaicil Tulo. Kakak dari Sultan Baabullah ini saat mengonversi
agamanya ke Kristen diperkirakan berusia 91 Tahun.
Dalam Surat Fr. Barrada
Manuel untuk Fr. Muzio Vitelleschi, bertanggal 20 November 1619,
dijelaskan juga tentang kunjungan dan pembaptisan ini ; ''Begitu tiba
di Manado, Raja dan pangerannya segera menemui kami (Padri Pinto). Setelah
turun, kami menemukan salib di pantai, yang kami semua kagumi ketika kami
datang dari Ternate dengan penuh sukacita dan penghiburan, para Padri menjadi
yang pertama mencium, segera raja, kapten dan lebih banyak prajurit. Suara
tembakan musketry yang gempita, dari sini raja membawa kita semua bermukim di
perkampungan tepi sungai, namun karena tidak sehat dan karena kami bercampur
dengan tentara, kami banyak menderita''.
Dari kutipan di atas di peroleh informasi tentang keberadaan sungai, menandakan tempat yang dimaksud sebagai Manado ini bukan Pulau Manado tapi di daratan besar, dimana dahulu leluhur Raja Mokodompit pernah menempatinya. Hingga tahun 1619 Kaicil Tulo masih terkonfirmasi sebagai Raja Manado, dan tahun ini adalah masa akhir kuasanya atas Manado karena Tadohe yang sebelumnya tersingkir bukan tinggal diam.
selain itu informasi penting lainnya bahwa pangeran atau putra dari Kaicil Tulo juga ternyata sering berada di Manado bersama ayahnya, Pangeran ini tak lain adalah Dom Pedro Acuna yang saat masih beragama Islam bernama Kaicil Hamzah. Kehadiran Pangeran Dom Pedro Acuna di Manado tentu punya maksud lain di mana kita ketahui jarak antara Manado dan Ternate cukup dekat, peristiwa yang terjadi di Ternate dengan cepat dapat terendus dari Manado. Target utama dari Kaicil Tulo adalah menjadikan Pangeran Dom Pedro Acuna atau Kaicil Hamzah sebagai Sultan Ternate atas sokongan Spanyol sebagaimana Spanyol telah menyokong Kaicil Tulo menjadi Raja Manado. Rencana ini pun terlaksana beberapa tahun kemudian.
TADOHE RAJA BOLAANG
Telah di bahas sebelumnya
saat Tadohe di tunjuk ayahnya (Mokodompit) untuk menggantikan ayahnya,
pemerintahannya di goyang oleh kubu oposisi, bangsa bangsa dalam kerajaan
bercerai berai dan salah satu kelompok yang menjadi oposisi adalah kelompok
Bolaang,kembali saya mengutip dari Ridel : "kemudijen maka datanglah
bangsa Bola-ang itu berparang parangan lagi membakar beberapa tampat pesisir
tetapi bertsohbatlah persakutuwan bajik salaku bersaudara marika itu pula pada
masanja".
Saat Tadohe tersingkir dari
Manado, Tadohe bersama beberapa pengawal setianya mengambil langkah strategis
lainnya. Pergi ke Bolaang Mongondow tepatnya kotabunan, tempat kediaman
Bogani Dow. Perjalanan Tadohe menuju Kotabunan terdapat dalam buku Over de
voorsten van Bolaang Mongondow karya Dunne bier. Berikut Kutipannya : ''Toen
Tadohe' een aankomend jongeling was geworden, ging hij met anderen op reis naar
Bolaang Mongondow. Ze werden door een zwaren storm overvallen. Slechts n prauw,
die waarin Tadohe' zat, werd op het strand bij de rivier Togid gesmeten''.
Terjemahannya : “Ketika Tadohe' telah menjadi seorang pemuda yang
bercita-cita tinggi, dia melakukan perjalanan bersama orang lain ke Bolaang
Mongondow. Mereka disalip oleh badai besar. Hanya satu prahu yang selamat,
prahu tempat Tadohe' duduk,terdampar di pantai di tepi sungai Togid”.
Sengaja saya bold pada kata "pemuda yang bercita cita tinggi'' bahwa
Tadohe tidak pernah patah arang untuk menggapai cita cita nya kembali sebagai
Raja.
Lanjutan dari catatan
Dunnebier :”Di wilayah itu (distrik Cotaboenan sekarang) pada waktu itu
otoritas dijalankan oleh seorang bogani perempuan, Dow panggilannya. Dia Tinggal bersama ketujuh putranya di puncak gunung dayow. Suatu hari beberapa anak
buahnya pergi ke pantai dan menemukan ada prahu yang terdampar bersama Tadohe'
dan dua pendayung yang kelelahan. Mereka segera kembali dan melaporkan kepada
Dow,Dow, berkata, "Mungkin mereka adalah bajak laut." Dia ingin
melihat sendiri, tetapi dia tidak lagi menemukan anak laki-laki itu di sana,
karena anak itu memanjat pohon tolitoi yang berada di sisi air tempatnya
berdiri. Setelah mencarinya selama beberapa waktu, mereka melihat air bayangan
cermin anak laki-laki yang duduk di cabang sambil kaki kiri berayun. Dan kemudian
mereka segera melihat kaki sebenarnya dari anak itu. Segera mereka memilikinya
di bawah kendali mereka dan dia diinterogasi. Ketika dia mengatakan dia adalah
seorang bangsawan Bolaang-Mongondower, Dow tidak mau percaya begitu saja dan
mengujinya”.
Ringkasnya setelah mengalami
berbagai ujian dari Dow, akhirnya Tadohe berhasil meyakinkan para Bogani
termasuk Dow bahwa dia adalah putra Raja Mokodompit.
Dalam bakid ( Musyawarah adat
) di Mongondow, Tadohe di tetapkan sebagai Raja Bolaang oleh Dewan adat dan di
lantik oleh Dow.
Saya berpendapat bahwa Dongue
adalah orang yang sama dengan tokoh yang bernama Dow. Tahun 1614 nama Dongue
sudah bukan lagi ratu kaidipang, ratu kaidipang tahun ini adalah Bandica, namun
tercatat pula Dongue telah murtad dari Kristen dan terlibat dalam pembunuhan
orang orang spanyol di Kaidipang tercantum dalam Documenta Malucensia : “Dongue,
Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan’’.
Berbeda dengan situasi di
Manado, saat Tadohe di tunjuk oleh Mokodompit sebagai Raja, Tadohe mendapat
perlawanan dari oposan internal kerajaan Manado terutama kelompok yang di
pimpin Lumantut, Di Mongondow setelah Tadohe di lantik secara adat Mongondow
yang di pimpin oleh Dow, tidak ada lagi kubu yang menolak Tadohe termasuk
masyarakat Bolaang ( pesisir pantai utara) yang pernah menjadi oposannya di
Manado beberapa waktu lalu.
Setelah didaulat menjadi Raja
Bolaang, Tadohe melakukan berbagai pembenahan. Terdiri dari reformasi birokrasi
dan pembenahan di bidang sosial kemasyarakatan. Adat juga dilembagakan dan
melahirkan pakta perjanjian antara golongan rakyat dan pemerintah atau dikenal
dengan Paloko-Kinalang.
Berikut ini saya kutip
sedikit hasil reformasi dan kebijakan-kebijakan yang lahir di masa Tadohe
dikutip dari catatan Dunniebier dalam Over de Vorsten van Bolaang Mongondow,
berikut terjemahan bebasnya :
ketika Raja melakukan
perjalanan ke Kotabunan atau ke Bolaang, Raja harus ditandu (dipikul), tidak
boleh berjalan kaki atau menunggang kuda. (Saat aturan ini
dibuat, Tadohe masih tinggal di Tudu In Bakid, desa Pontodon saat ini).
Raja berhak atas satu rumah
di Bolaang (di pesisir) dan satu rumah di Mongondow
(dataran tinggi/pedalaman).
Ketika Raja meninggal—baik
istri, anak atau cucunya—maka semua orang Bolaang Mongondow harus
menghormatinya dengan menyanyikan ratapan, memakai pakaian berwarna hitam,
tidak diperbolehkan memakai baju merah, tidak boleh menyalakan lampu selama
delapan jam pada malam hari.
Ketika Raja keluar dari
rumah, dia harus selalu menggunakan (topi besar), karena jika dia tidak
melakukan ini, tanaman tidak bisa tumbuh subur
Di awal periode
pemerintahannya, Raja Tadohe fokus melakukan pembenahan sebagaimana dikutip
dalam Dunnebier: “setelah lembaga-lembaga tersebut di atas dikukuhkan dengan
sumpah , Radja Tadohe' memberikan perintah yang diperlukan mengenai pembangunan
rumah, pembangunan jalan desa, dan arahan untuk membuat kebun padi juga jagung”.
Selain memperkuat ekonomi
kerajaan, Tadohe mulai mengembangkan angkatan perang kerajaan Bolaang. Kekuatan
angkatan perang Bolaang awal abad 17 sebagaimana dikutip pada Lopez
menyebutkan: Di sisi lain, Bool (Bulan atau Bohol), tiga hari perjalanan dari
selatan Cauripa, telah mampu membuat mesiu sendiri. Seiring berjalannya
waktu, pada abad ke-17, hegemoninya di daerah itu meningkat, membentuk apa yang
di masa depan disebut Bolaang Mongondow.
Persenjataan angkatan perang
berbahan mesiu ini menjadikan kerajaan Bolaang mampu memperkuat hegemoninya di
jazirah utara Sulawesi. Aliansi klasik dengan Siau juga terus dipertahankan
Tadohe dengan memanfaatkan hubungan kekeluargaan. Tradisi lisan Sangihe
menyebutkan ibu dari Tadohe adalah cucu dari Lokonbanua II, selain itu salah
satu isteri Tadohe berasal dari Tabukan, anak Raja Tabukan yang bernama Boki
Rasingan.
Tadohe Raja Manado (Periode kedua)
Dengan kekuatan armada perang
yang telah terkonsolidasi, saatnya bagi Tadohe kembali ke Manado. Tujuannya
jelas, ia hendak menuntut tahtanya yang pernah kandas akibat ulah para oposan
yang diperparah dengan kedatangan Kaicil Tulo dari Manila ke Manado dan
mendudukinya.
Beberapa saat sebelum
kedatangan Tadohe menuntut tahtanya, Kaicil Tulo rupanya sudah digoyang lebih
dulu oleh faksi yang pernah menolak tahta Tadohe. Tradisi di Mongondow
menuturkan, faksi yang rupanya masih subur ini adalah faksi warisan yang oleh
Riedel ditulis Loementoel atau Loemantoet atau Loemoentoek (Lumantut atau
Lumuntuk; bhs.Mongondow),Tapi itu tak masalah bagi Tadohe. Armadanya telah
cukup kuat dan terkonsolidasi. Kaicil Tulo yang uzur seolah telah menantikan
Tadohe yang mendapat perlawanan dari faksi bajak laut yang mulanya mendukung Kaicil Tulo kemudian terkonsolidasi oleh warisan
Lumantut.
Selanjutnya adalah Tadohe
memusatkan pemerintahannya di daratan besar, yang berdekatan dengan sungai
tempat domisili mantan Raja Manado, Kaicil Tulo.
Setelah menguasai dan menjadi
Raja Manado, Tadohe memusatkan perhatiannya untuk menundukkan kubu oposisi
terutama faksi Batasina (Halmahera) di sekitaran perairan Manado hingga Belang.
Kelompok yang paling terkenal dari faksi batasina ini adalah Loloda. Menguasai
Manado dan mengabaikan kekuatan kelompok Loloda akan berbahaya bagi eksistensi
kerajaan Manado. Loloda salah satu pengembara laut yang paling disegani di
perairan Sulawesi Utara hingga Teluk Tomini.
Jika kita memperhitungkan
tahun kelahiran putra mahkota (Loloda Mokoagow) anak dari Tadohe dengan
memperhatikan umur saat putra mahkota dibaptis pada tahun 1637 atau 1638 dalam
usia 17 atau 16 tahun, sehingga penaklukan faksi Loloda terjadi antara tahun
1620 - 1621.
Dari data ini dikaitkan
dengan tradisi lisan Bolaang Mongondow terkait kelahiran Putra Mahkota bernama
Moco atau Mocoago, hasil wawancara saya dengan sejarahwan Bolaang Mongondow,
Anwar Syukur (Almarhum) tahun 2010 silam, Anwar menuturkan bahwa kelahiran
putra Tadohe yang bernama Mokoagow bersamaan dengan peristiwa berhasilnya
Tadohe mengalahkan dan merampas Kora-kora faksi Loloda dari Halmahera
(Batachina), sehingga pangeran bernama Mokoagow ini selalu disapa dengan
sebutan Loloda, guna mengenang peristiwa besar ini. Takluknya orang-orang
Loloda ini di catat oleh Padtbrugge dalam Het Journaal Van Padtbrugge's
Reis Naar Noord-Celebes En De Noordereilanden : "De vader van den
tegenwoordigen Koning van Boelang, wezende toen mede Koning van Manado en
Loloda genaamd" artinya :Ayah dari Raja Boelang (Loloda Mokoagow) saat ini
disebut juga sebagai Raja Manado dan Loloda. Gelar yang hanya berlaku kepada
Tadohe sebab keturunannya kelak tidak adalagi yang di sebut sebagai Koning
Manado en Loloda tetapi akan di sebut sebagai Koning Boelang en Mogonde (era
Salmon Manoppo).
Tahun 1620 Manado benar-benar
lepas dari kekuasaan Kaicil Tulo. Informasi tentang Raja Manado paska Kaicil
Tulo terkonfirmasi dalam Documenta Malucensia pada bagian report on
Manado (Ternate, Second Half Of 1620) oleh para rabi yakni FR. Manuel De
Avevedo, visitor Maluku, untuk FR. Andre Palmeiro, visitor India. Diperoleh
keterangan dari para rabi bahwa, orang-orang (Manado) sangat tidak mampu
menerima iman. Hanya ada 50 orang yang dibaptis, tetapi mereka adalah orang
Kristen dalam nama saja. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Raja telah menikahi
wanita Moor/ Islam (rey se tornou a cazar comhuma moura). Satu-satunya harapan
adalah penaklukan itary, tetapi orang-orang Spanyol tidak tertarik dengan itu.
Gubernur berencana untuk menarik tentara dari Manado. Semua Jesuit dan anak
laki-laki jatuh sakit, dan Pdt. Scalamonti meninggal. Jika Gubernur memanggil
kembali tentara, maka para rabi (frater) harus kembali juga. Posisi berisiko
orang Spanyol tidak mengizinkan tindakan orisinil.
Keterangan soal Raja Manado
telah menikahi wanita Moor/Islam diberi catatan kaki oleh Hubert Jacob bahwa
Raja Manado memiliki beberapa Isteri, salah satunya perempuan Islam yang
dinikahi raja. Perempuan ini bukan Istri satu-satunya dan masih diberi tanda
tanya apakah perempuan ini yang menjadi Ratu? Dokumen pada tahun 1638 dan tahun
sesudahnya telah nyata bahwa Isteri raja ini adalah seorang ratu, Queen of Manado
atau sebutan lainnya Reyna de Bolan. Ini juga sebagai bukti bahwa islam telah
eksis di jazirah utara Sulawesi setidaknya pada awal abad 17 di mana keluarga
Kijaba ( reyna de bolan) adalah muslim.
Dari laporan ini di peroleh
informasi tentang kondisi keimanan Kristen di Manado dimana masih banyak orang
orang Manado yang kekristenannya hanya dalam nama saja tapi perilakunya jauh
dari Kristen. Selain telah beralih ke Islam, pengamal budaya pagan juga masih
kental. Laporan ini menggambarkan kesulitan yang dialami oleh misi
Jesuit asal Portugis, selain menderita penyakit (sakit) perhatian Spanyol
terhadap misi ini mulai berkurang terlebih Raja Manado tidak membantu sepenuh
hati.
Informasi penting lainnya
nama Kaicil Tulo sudah tidak disebutkan lagi sebagai Raja. Andaikata Kaicil
Tulo saat kunjungan ini masih hidup maka kakak dari Sultan Baabullah ini sudah
pada usia Uzur yakni 94 tahun. Ratu yang menolak di Baptis oleh Fr Pinto adalah
orang berbeda dengan Istri Raja dari kalangan Moor (Islam) yang baru dinikahi
Raja Manado. Artinya raja yang dibahas dalam report on Manado 1620 (Documenta
Molucensia) bukan lagi Kaicil Tulo tapi Tadohe.
Buktinya saat di kunjungi Fr
Pinto tahun 1619, Isteri Kaicil Tulo sudah disebut sebagai Ratu, berarti
perkawinan Raja sudah terjadi sebelum Tahun 1619, sementara itu Raja Manado
yang dibahas dalam Report on Manado (Documenta Molucensia) baru menikahi
seorang perempuan Muslim saat itu yakni tahun 1620 sehingga anaknya yang
disebut Putra Mahkota oleh Aritonang dan disebut Moco dalam Documenta
Malucensia, saat dikirim ke Ternate 17 tahun kemudian (pada Tahun
1637-1638 ) dikabarkan berusia 16 atau 17 tahun.
Ada hal yang menarik terkait
pasang surutnya keimanan keluarga raja yakni sang raja memeluk Kristen dan
Isterinya adalah pemeluk Muslim dari Tahun 1620 hingga tahun 1630-an hidup
dalam kebudayaan tradisional yang cenderung paganism sebagaimana laporan Jesuit
tahun 1620.
Tradisi lisan dari Bolaang Mongondow
mengungkapkan bahwa awalnya Tadohe menolak ritual Monibi, ritual pengobatan
dengan mengundang arwah-arwah leluhur. Suatu waktu anak Tadohe yang masih kecil
jatuh sakit dan diobati oleh 'dokter istana' namun tidak sembuh. Setelah
diobati melalui upacara ritual Monibi, sang anak lantas sembuh. Akhirnya Tadohe
yang Kristen ini menganjurkan di seluruh wilayah kerajaan agar mendirikan kuil
untuk arwah para leluhur.
Ritual yang awalnya kurang
dikenal Tadohe yang lahir di Siau dan dibesarkan di Manado. Tapi Tadohe memang
seorang yang cerdas dan tahu menegaskan dirinya sekalipun dalam budaya pagan.
Perilaku pagan yang bertentangan dengan iman Kristiani ini juga di catat oleh
Dunnebier berdasarkan tutur dari para bangsawan dan tetua adat di zamannya,
berikut kutipannya : “Tadohe ini adalah orang yang sangat berpengaruh,
seseorang yang tahu bagaimana menegaskan dirinya sendiri. Pengaruh tersebut
juga menjadi saksi dari fakta bahwa dengan upacara pengorbanan tingkat desa
lewat ritual Monibi, di halaman kepala desa didirikan 2 kuil yang dibuat
terpisah satu sama lain. Di salah satunya dua patung ditempatkan, yang harus
mewakili Tadohe dan Istrinya”.
Ini yang dikeluhkan para
Jesuit dalam report on Manado [Ternate, Second Half Of 1620] Documenta
Molucensia : “Mereka adalah orang Kristen dalam nama saja”. Kalimat ini
merujuk ke perilaku paganism dalam masyarakat, dan Raja Tadohe yang Kristen
inipun terlibat dalam praktek pagan bersama Isterinya yang muslim dengan
menyisipkan syarat tambahan patung Tadohe dan Isterinya (Kijaba) dalam rumah /
kuil pemujaan atau pengurbanan.
Dengan status sebagai Raja
Manado dan Loloda (Koning Manado en Loloda), kekuasaan Tadohe atas Manado tak tergoyahkan lagi. Satu
persatu kubu oposisi yang pernah menentangnya kini sudah sepihak dengan Raja
Tadohe. Pertama kelompok Bolaang yang pernah menolak Tadohe sebagaimana saya kutip
dalam Ridel kemudian kelompok Batasina dan terakhir kelompok Lumantut.
Sementara itu konstalasi
regional terus bergerak dinamis, Kaicil Tulo yang tidak mampu lagi
mempertahankan kekuasaanya atas Manado, berhasil menjadikan putranya sebagai
Sultan Ternate atas bantuan Spanyol. Tanda awas untuk Raja Manado, Tadohe.
Mengutip dari M. Adnan Amal : “Tahun 1627, putra dari kaicil Tulo yang
bernama Kaicil Hamzah di lantik menjadi Sultan Ternate. Kaicil Hamzah saat di
Manila di baptis dengan nama Don Pedro Acuna. Sultan Hamzah saat di dukung oleh
Spanyol menuju Tahta Sultan Ternate, namun situasi berbalik, saat akan di
Lantik Kaicil Hamzah Kembali masuk Islam. Saat menjadi Sultan, Hamzah berpihak
ke Belanda dan melepaskan diri dari Pengaruh Spanyol. Beberapa saat setelah
Kaicil Hamzah di lantik menjadi sultan, di bentuk Ekspedisi Kaicil Ali untuk
menundukan Daerah daerah seberang laut termasuk Sulawesi, dengan kekuatan 27
Juanga dan pasukan 1500 personil, tahun berikutnya di perbesar hingga 30 Juanga”.
Ekspedisi Kaicil Ali tidak sampai di Sulawesi Utara tahun 1632 Kaicil Ali wafat
di Buton.
Kini Ternate benar-benar
terlepas dari genggaman Spanyol. Ternate dibawah Pemerintahan putra Kaicil Tulo
yang bersekutu dengan Belanda mulai mengarahkan pengaruhnya di wilayah yang
dipengaruhi oleh Spanyol. Dan Raja Tadohe harus memperkuat aliansi guna melawan
pengaruh Ternate. Raja Tadohe yang sudah lama bersekutu dengan Siau juga
berupaya menjalin persekutuan langsung dengan pihak Spanyol, apalagi di tahun
1630-an Tadohe mulai menghadapi faksi faksi lokal.
Kesan kurang baik dari saat
para misionaris berkunjung ke manado di tahun 1620, berubah total demi menjalin
aliansi dengan Spanyol. Tahun 1638 (menurut Aritonang;1637) Raja Tadohe bersama
keluarganya melakukan pertobatan Kristen. Ratu bersama anak-anaknya dibaptis.
Dalam Documenta Malucensia
pada bagian Surat laporan Tahunan, Scholastic Diogo Da Fonseca, Commissioned
dari Fr. Provincial,untuk Fr. Muzio Vitelleschi, General, Rome (Desember
1644), peristiwa tahun 1638 yang terjadi atas keluarga kerajaan Manado dilapor
kembali. Isinya adalah menyebutkan bahwa, ratu dan anak-anaknya, pada
tahun masehi 1638, meninggalkan kehidupan berhala (dibaptis dan menjadi
Kristen). Kepada raja yang telah setia pada waktu itu, kembali memperbaiki
pernikahannya di depan Gereja.
Keterangan lain yang juga
penulis kutip dalam Documenta Malucensia, penyebutan Ratu Bulan untuk Isteri
Raja Manado ini. Berikut kutipannya : “Entre los que se bautizaron huvo una
mora de mucha importancia, por ser madre del maestro de campo desta y isla y
cunado del rey della, y de la reyna de Bolan”. artinya : “Diantara
mereka yang dibaptis ada seorang Moor (Islam) yang sangat penting. karena
menjadi ibu dari pemimpin di pulau ini dan ipar dari raja serta ratu dari
Bolan. (Bolan yang dimaksd adalah Bolaang)”.
Jan Sihar Aritonang dan Karel
Steenbrink dalam buku A History Of Christianity in Indonesia juga
menyebutkan perihal ini tapi tidak mematok tahun 1638 : ''dalam tahun 1637
putra mahkota Manado dan Siau di kirim ke Ternate untuk mendapatkan didikan
Jesuit. Manado di kunjungi dari Siau dan di tahun yang sama ratu dan anak
anaknya dibaptis''.
Isteri raja yang di tercatat
dalam Documenta Molucensia dengan sebutan Reyna de Bolan (Ratu Bolaang) atau
oleh Aritonang di sebut sebagai Queen of Manado, pada dasarnya gambaran
kedudukan domisili Raja. Tadohe selain Raja Bolaang (Rey de Bolan) juga
sebagai Raja Manado (Rey de Manado). Peristiwa ini terjadi di saat Kaicil Tulo
telah wafat. Andaikan Kaicil Tulo masih hidup maka usianya sudah sangat uzur
yakni 111 tahun. Raja dan keluarga Raja ini dipastikan Raja Manado yang di
temui Jesuit tahun 1620, bukan Kaicil Tulo tapi Tadohe.
Untuk menghadapi kemungkinan
agresi dari putra Kaicil Tulo yang telah menjadi Sultan Ternate (Sultan Hamzah)
serta menghadapi pemberontakan lokal, Raja Tadohe berupaya keras menjalin
hubungan dengan Spanyol. Untuk meningkatkan kepercayaan Spanyol terhadap Raja
Tadohe, Raja Manado ini mengirim pewaris tahtanya ke Ternate guna mendapatkan
didikkan Spanyol sebagaimana catatan dalam Documenta Molucensia. Pangeran ini
bernama Mokoagow yang dalam Documenta Molucensia di catat sebagai Moco
Lebih lanjut laporan ini
menyebutkan, selain Raja Manado, ada 40 liga dari Ternate dikirim untuk
meminta bantuan Gubernur D. Pedro de Mindiola melawan beberapa pemberontaknya.
Raja Manado (Tadohe) juga mempercayakan ahli waris mudanya yang berusia 16
hingga 17 tahun untuk dibina bersama orang Spanyol, dan meminta para Bapa untuk
membaptiskan mereka. Disebutkan juga bahwa Moco dibesarkan di rumah Jesuit
bersama dengan pangeran Siau yang seusianya.
Dari catatan di atas, di
peroleh informasi antara lain, Raja Manado menghadapi pemberontakan di
wilayahnya. Raja Manado memohon bantuan dari pihak spanyol untuk menghadapi
pihak oposisi yang memberontak. Untuk memperlihatkan harapan akan bantuan dan
kepercayaan pihak Spanyol dia mengirim putra pewarisnya yang berusia dari 16
hingga 17 tahun bersama pangeran Siau. Pangeran Siau (Don Ventura)
dan Pangeran Manado ( Moco ) umurnya sebaya dan dibesarkan dalam binaan
Spanyol. Keakraban antara Pangeran Siau (Ventura) dan Pangeran
Manado (Moco) berlanjut hingga kelak mereka berkuasa menjadi Raja. Dikabarkan
pula bahwa orang-orang melayu banyak yang lari menyelamatkan diri dan mereka di
selamatkan oleh kapal Galleon.
Sampai Tahun 1640-an hubungan
Manado dengan Spanyol di Ternate terjalin erat. Menurut Lopez, terlepas dari
segalanya, kehadiran tentara di Manado tetap ada, karena meskipun langka dan
terputus-putus, pasti selalu ada garnisun yang menjadi saksi aliansi antara
Manado dan Spanyol. Jika garnisun ini tidak ada,setidaknya terjalin komunikasi
reguler antara Ternate dan Manado agar tidak merusak aliansi.
Namun memasuki tahun 1642,
terjadi konflik besar antara orang orang Spanyol dengan rakyat kerajaan Manado.
Lopez menulis, pada tahun 1642 beberapa desa (disebut Meados) dari
kerajaan Manados bangkit melawan Spanyol, tampaknya karena perilaku orang-orang
Spanyol di pedalaman dan dataran tinggi. Sekitar 22 orang Spanyol terbunuh
dalam sebuah insiden di pedalaman. Dan Jesuit menjadi martir dalam konflik
tersebut.
Raja Manado yang khawatir
akan ada aksi balas dendam dari Spanyol, kini ia berupaya membangun aliansi baru
dengan pihak Ternate-Belanda. Ia lantas mengutus delegasi ke Ternate meminta
bantuan dari Belanda untuk menghadapi Spanyol di tahun 1643. David Henley
menyebutkan, “Catatan VOC, bagaimanapun, menunjukkan bahwa meskipun
utusan dari Sulawesi Utara memang mencari perlindungan Belanda dari musuh Spanyol
pada tahun 1643 dan 1654, mereka datang dua kali atas nama raja Manado dan
Bolaang, bukan (atas nama) komunitas dataran tinggi (suku-suku alifuru)”.
Stella Mantiri dalam bukunya
berjudul Datoe Binankang, Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara
Utara, menulis : “Untuk mencegah jangan sampai orang Spanyol yang berada di
Manila membalas dendam maka Raja Manado pun meminta bantuan belanda di Ternate,
maka hal ini di laporan oleh Wouter Seroijen pada tanggal 21 April 1644 kepada
Gubernur General dan Dean pensaheta bahwa bulan februari muncul di benteng
melayu Ternate sebuah perahu kecil dari Bandar Manado, membawa 8 awaknya yang
atas nama Raja mereka memintakan kepada belanda dan Ternate perlindungan
menghadapi bangsa Spanyol’”.
Utusan Raja Manado yang berangkat sekitar akhir tahun 1643 tiba di Ternate bulan Februari 1644, dan diterima secara resmi 2 bulan kemudian. Melihat waktu pengiriman para utusan kerajaan Manado di tahun 1643 maka dipastikan Raja Manado yang di maksud adalah Raja Tadohe ayah dari Raja Loloda Mokoagow. Upaya kerja sama dengan Belanda melawan Spanyol inipun dilanjutkan oleh Raja Loloda Mokoagow Putra dari Raja Tadohe.
Dari uraian David Henley ini, bisa di lihat peliknya situasi saat itu. Suku suku alifuru di pedalaman terpecah dukungannya, kelompok kelompok alifuru lain (Tonsea, Tombulu dan lain lain ) berada dengan barisan Raja Manado-Bolaang melawan Spanyol yang di dukung oleh kelompok kelompok alifuru dari Tondano.
Tondano sejak pecah
perlawanan melawan Spanyol sejak tahun 1642 hingga tahun 1660 masih menjadi
loyalis utama Spanyol di pedalaman melawan Manado-Bolaang yang didukung oleh
Belanda-Ternate. Dikatakan Lopez : “Padahal benar Belanda berhasil membuat
Manado pada tahun 1660 putus dengan Spanyol, beberapa suku pedalaman masih
berbaris di samping Spanyol. Mereka adalah penghuni La Laguna atau Tondano,
sekitar 30 kilometer dari Manado”.
Di wilayah pedalaman, sesama
suku alifuru sering terjadi pertikaian, ini nampak pada perlawanan terhadap
Spanyol tahun ini, ketika suku Tonsea, Tombulu dan lain-lain berbaris bersama
Raja Manado-Bolaang, Tondano bagian dari “anak sungai’’ Suku Tonsea memperkuat
posisinya bergabung dengan Spanyol. Ini sebagaimana ulasan Lopez : “Alasan
keterlibatan ini dapat ditemukan dalam berbagai alasan, yang utamanya adalah
posisi mereka sebagai anak sungai dari kelompok etnis Tonsea. (lebih jauh ke
utara dan bertanggung jawab atas Pemberontakan anti-Spanyol tahun 1644), dengan
demikian aliansinya dengan Spanyol itu akan memperkuat posisinya di depan para
pemuka suku’”.
Tahun 1644 merupakan tahun
yang paling bersejarah untuk Manado-Bolaang. Perlawanan Sporadis Kerajaan
Manado bersama rakyatnya yang terdiri dari berbagai macam suku alfur pedalaman
melawan Spanyol yang di dukung oleh suku utama di pedalaman (Tondano). Perang
terbesar yang terjadi di tahun ini, mengutip dari Lopez : “garnisun
Spanyol masih berada di Manado sekarang akan menghadapi pemberontakan lokal
paling kejam sampai saat ini: pemberontakan 10 Agustus 1644”.
Di tahun ini, putra mahkota
Manado yang di kenal sebagai Moco atau Mocoago yang di tahun-tahun sebelumnya
telah mendapakan pendidikan Spanyol di Ternate bersama Pangeran Siau, dilantik
sebagai Raja Manado menggantikan Ayahnya sebagaimana pendapat Stella Mantiri;
Loloda Mokoagow menjadi Raja Manado pada tahun 1644, Pangeran yang mendapat
ilmu dari Spanyol yang kelak menjadi musuh utama Spanyol juga di Sulawesi
utara.
Raja Manado yang bernama Kristen Dom Fernando.
Keterangan satu satunya yang
saya temukan tentang Raja Manado yang bernama Kristen Dom Fernando terdapat
dalam “Documenta Malucensia” yang
tercantum dalam Laporan Frater. Andre Lopes, dari Commission Of Fr.
Provincial,untuk Fr. General, Rome Tahun 1644; ''De Tarnate a Manados so 30
legoas por mar. O rey h christo, chama-sse Dom Fernando'' terjemahan
bebasnya; "Dari Ternate ke Manado itu adalah 30 legoas melalui laut
(115 mil), Rajanya seorang Kristen yang dikenal sebagai Dom Fernando''.
Walau tarikhnya bulan desember tahun 1644
namun di beri keterangan bahwa “the information on the Maluku mission does
not give the actual situation of 1644”. Saya juga sependapat bahwa
informasi ini bukan actual yang terjadi pada bulan Desember 1644, mengingat
bahwa pada bulan agustus tahun 1644 terjadi pemberontakan besar besaran melawan
Spanyol yang di dukung oleh suku alifuru di sekitar danau Tondano,suatu
peristiwa yang sangat perih di rasakan oleh Spanyol namun tidak muncul dalam
laporan ini sehingga di pastikan bahwa informasi ini menggambarkan situasi
manado sebelum Agustus 1644. Yang berarti Raja Manado yang bernama Kristen Dom
Fernando adalah Raja Manado yang mengirim utusannya ke Ternate tahun 1643 yang
tiba di Ternate pada bulan Februari 1644 dan di terima secara resmi oleh VOC
pada bulan April tahun 1644. Tidak lain adalah Tadohe
Mengutip Kembali dari David
Henley : “utusan dari Sulawesi Utara memang mencari perlindungan Belanda
dari musuh Spanyol pada tahun 1643 dan 1654, mereka datang dua kali atas nama
raja Manado dan Bolaang, bukan (atas nama) komunitas dataran tinggi (suku-suku
alifuru)”. Dari sini di ketahui bahwa Raja yang mengirim utusan ini adalah Raja
Manado sekaligus juga Raja Bolaang yang tidak lain adalah Tadohe koning van
Manado en Loloda.
Maka terjawab sudah bahwa Dom
Fernando adalah Raja Tadohe putra dari Raja Mokodompit. Dia mendapat nama
Kristen setelah melakukan pertobatan tepatnya tahun 1638. Raja beserta istrinya
( Reyna de Bolan) termasuk anak anaknya Kembali di Baptis bahkan perkawinan
mereka di perbaiki lagi di depan gereja. Imannya Kembali di saat berusia uzur.
Menurut Stella B Mantiri,
Loloda Mokoagow resmi dilantik menjadi raja pada tahun 1644 (pada usia 23
Tahun). Maka di tahun 1644 inilah berakhirnya masa pemerintahan Raja Tadohe,
Rey Cristiao Dom Fernando, Koning van Manado en Loloda, anak dari Raja Mokodompit
dan Gogune. Ia digantikan sang putra mahkota, El Moco, Mocoago, yang kemudian
dikenal dengan Loloda Mokoagow
Bersambung ke Bagian III
Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia. 2008
- Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia . 1984
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
- P.J.B.C. Robid Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949
Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia. 2008
- Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia . 1984
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
- P.J.B.C. Robid Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949
Tidak ada komentar:
Posting Komentar