Makam Raja Loloda Mokoagow. Sumber Harakah |
LOLODA MOKOAGOW
Silsilah Loloda Mokoagow
Loloda Mokoagow lahir tahun
1621. Ibunya bernama Kijaba yang pada awalnya seorang Muslim sebelum akhirnya
dibaptis menjadi Kristen pada tahun 1638 sebagaimana telah di urai sebelumnya.
Wilken mencatat silsilah Raja-Raja Bolaang Mongondow dalam buku Geslacht In de
Taal Van Bolaang Mongondow bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
(Buku hikayat berbahasa Mongondow), berikut penggalannnya terjemahannya "Kemudian
Kijaba menikah dengan Tadohe memperoleh anak : Mokoagow yang adalah Datu
Binangkang, Mokodompit (Macarompius),dan Konda". Dari Kijaba, Tadohe
memperoleh anak 3 orang yaitu : Mokoagow atau lebih popular dengan sebutan
Loloda Mokoagow, Mokodompit (Prins Macarompius) dan seorang putri yang bernama
Konda.
Silsilah Loloda Mokoagow dari pihak laki laki ( ayah ) garis lurus ke atas : Loloda Mokoagow putera dari Raja Tadohe, Raja Tadohe putera dari Raja Mokodompit, Raja Mokodompit putera dari Raja Makalalo, Raja Makalalo putera dari Raja Busisi, Raja Busisi putera dari Raja Damopolii, Raja Damopolii putera dari Raja Jajubangkai dan Raja Jajubangkai putera dari Raja Mokodoludut.
Mokoagow oleh Spanyol dikenal sebagai Moco. Seorang putra mahkota Manado yang menempuh pendidikan Spanyol di Ternate bersama Pangeran Siau sebagaimana telah diulas sebelumnya. ''El Moco se cria en nuestra cassa junto con el principe de Siao que es de su edad'' artinya "Moco dibesarkan di rumah kami bersama dengan pangeran Siao yang seusianya''. Pangeran ini saat lahir diberi nama Mokoagow sebagaimana kutipan slagbom di atas. Selanjutnya dalam banyak dokumen, pangeran ini terkenal dengan nama Loloda Mokoagow dan Datu Binangkang. Kebanyakan kalangan di Mongondow memang mengenalnya juga sebagai Loloda Mokoagow.
Tradisi menyebutkan
sebagaimana literatur di Mongondow, penamaan ini dikenang terkait peristiwa
berhasilnya Raja Tadohe menundukan orang-orang Loloda, sebuah kelompok di masa
itu cukup disegani di perairan Sulawesi Utara.
Namun dalam buku Toedoe in
Passi; Sejarah Desa Hingga Kiprah Loloda Mokoagow, Uwin Mokodongan selaku
penulis buku itu memberi penjelasan detil dari segi bahasa terkait penamaan
putra Tadohe tersebut.
Sebuah perkataan yang
sebenarnya sungguh tak asing di telinga orang Mongondow. Loloda berasal dari
Bahasa Mongondow. Kata dasarnya adalah Loda' yang berarti hancur, remuk, atau
dalam ungkapan yang kasar berarti mati. Kata dasar Loda' yang ditambahi Lo
di depannya sehingga menjadi Loloda' dalam bahasa Mongondow berarti; alat penghancur,
peremuk, atau alat pencacah. Biasanya digunakan untuk menghancurkan atau
meremukan benda-benda yang keras, atau dipakai untuk memukul sesuatu yang
keras, biasanya batu. Bentuk Loloda' seperti palu besar/godam sebagai alat
bantu untuk menghancurkan. Jika dijadikan sebagai nama seseorang maka
sebutan itu diperuntukan pada seseorang yang berani dan kuat bagaikan godam
penghancur. Sedangkan Mokoagow kata dasarnya adalah Agow yang berarti ambil
atau raih.
Masih menurut Uwin Dalam tata
bahasa Mongondow, Moko artinya dapat sehingga Mokoagow berarti dapat meraih
sesuatu. Dari segi filosofi, nama Loloda Mokoagow, memiiki arti; karena
memiliki sebuah alat maka sesuatu dapat diraih. Itulah makna dari Loloda
Mokoagow. Tak heran jika Dunnebier menyebutkan daam over de Vorsten van
Boaang Mongondow, bahwa Loloda Mokoagow ditradisikan memiliki kekuatan
persenjataan sehingga dapat menaklukan banyak suku bangsa.
Loloda Mokoagow Menjadi Raja Bolaang dan Manado.
Menurut Stella Mantiri,
Loloda Mokoagow bertahta pada tahun 1644 sementara itu informasi dari Andres
Lopez sebagaimana terdapat dalam Documenta Malucensia bahwa Manado di
pimpin oleh Raja Kristen yang bernama Dom Fernando (Tadohe), yang sebagaimana
di urai sebelumnya penyebutan nama Raja Dom Fernando ini walau bertarik
Desember 1644 namun jauh sebelumnya bahkan sebelum 10 Agustus 1644,artinya
Loloda Mokoagow menjadi Raja pada akhir tahun 1644 atau setelah 10 agustus
1644.
10 Agustus 1644 terjadi
pemberontakan besar besaran melawan Spanyol. Raja Manado yang di dukung suku
suku pesisir dan juga beberapa suku suku pedalaman seperti tombulu,Tonsea dan
lain lain berhadapan dengan Spanyol yang di dukung suku alifuru di sekitar
danau Tondano bahkan spanyol secara nyata mendapatkan dukungan dari sekutu
klasiknya yakni Siau. Dalam peristiwa ini boleh di kata, aliansi Spanyol kalah
telak, namun berhasil membuat raja tua, Tadohe menyingkir ke Amurang terus
menuju ke Bolaang Mongondow. Di akhir tahun 1644 Loloda Mokoagow di nobatkan
menjadi Raja dalam usia 23 tahun, yang tak berselang lama Tadohe pun wafat.
Setelah menjadi Raja,
kalangan umum di Sulawesi Utara, mengenal Raja ini dengan sebutan Raja Loloda,
Raja Mokoagow, Raja Loloda Mokoagow dan Datu Binangkang. Semuanya mengacu
ke orang yang sama, putra Tadohe. Dalam laporan atau dokumen resmi belanda raja
ini tercatat dengan nama Loloda Mocoago (Loloda Mokoagow) terkadang disebut
Koning van Amurang, Koning Van Bolaang, dan Koning Van Manado.
Sebagaimana di singgung oleh
Dunniebir, proses ritual upacara untuk wafatnya seorang raja memakan waktu
berbulan bulan sehingga praktis Loloda Mokoagow dalam waktu ini memasuki masa
berkabung di Bolaang Mongondow. Sementara itu paska pemberontakan besar yang
terjadi pada 10 agustus 1644 turut di manfaatkan oleh faksi faksi lama oposan
era Tadohe yakni para bangsawan pendukung Lumantut yang terkosentrasi di pulau
Manado tua. Di daratan Manado dan sekitarnya kemenangan atas
Spanyol menjadi eforia tersendiri di kalangan suku suku yang berbaris bersama
Raja baru, Loloda Mokoagow. Perasaan superior menghampiri suku suku ini
menyebabkan terjadi pertikaian antar suku di sisi lain alifuru tondano dan
sekitarnya masih menunjukan loyalitasnya kepada Spanyol dan melawan hegemoni
Raja Loloda Mokoagow serta di perparah lagi kelompok bangsawan yang
terkosentrasi di pulau Manado tua dengan nyata menolak kekuasaan Loloda
Mokoagow. Loloda Mokoagow menghadapi situasi yang pelik dan mulai mencurigai
sepak terjang Siau, kecurigaan ini kelak terbukti Ketika pasukan Loloda
Mokoagow melakukan Blokade terhadap pulau Manado tua, para bangsawan oposan ini
menyingkir ke Siau.
Perjuangan Raja Loloda Mokoagow
Melawan kuasa Spanyol dan Makassar
Saat dilantik sebagai Raja,
Loloda Mokoagow dihadapkan pada posisi aliansi yang berbalik arah; Spanyol yang
pernah bersekutu dengan Ayahnya (Don Fernando) melawan Ternate dan Belanda,
kini menjadi musuh utama di wilayahnya.
Maka Loloda Mokoagow harus
memutar haluan menjadikan Ternate-VOC/Belanda (musuh Spanyol) sebagai sekutu
untuk melawan Spanyol. Meski pada akhirnya koneksivitas antara Loloda Mokoagow
dengan VOC-Belanda adalah arena diplomatik yang cepat berubah-ubah ketika tak
dibilang sebagai tipu muslihat belaka.
Dari selatan muncul ancaman
dari Sultan Malikul Said yang terus mencoba menanamkan kekuasaannya di jazirah
utara Sulawesi melanjutkan apa yang telah di rintis oleh pendahulunya yakni
Sultan Alaudin. Sultan Malikul Said memerintah tahun 1639-1653. Untuk
memperkuat posisinya, Loloda Mokoagow meminta bantuan Raja Don Juan untuk
bersama sama menyerang basis makassar yang berada di beberapa tempat di
antaranya Buol dan Kaidipang. Menurut Robertus Padtburgge penyerangan ini
terjadi di masa Tadohe, tapi menurut Valetijn penyerbuan koalisi Bolaang
(Manado) dan Siau terjadi di masa Loloda Mokoagow. Sebenarnya di era Tadohe
ekspedisi yang sama juga pernah terjadi Ketika Sultan Alaudin berhasil mengirim
armadanya ke jazirah utara Sulawesi bahkan Menurut Syahrir Kila dalam
artikelnya yang berjudul Perjuangan Sultan Alauddin Raja Gowa Ke-14
(1593-1639) kapal kapal perang Sultan Alaudin sempat menduduki Manado dan
negeri negeri di sekitar teluk Tomini. Yang pasti di masa Loloda Mokoagow awal
berkuasa, kekuatan Makassar di jazirah utara ( Buol dan sekitarnya) di
gilasnya. Apalagi Sultan Malikul Said bermusuhan dengan Ternate Belanda,
kekuatan yang di butuhkan oleh Loloda Mokoagow untuk menghadapi Spanyol. Di
sisi lain Raja Siau Don Juan putra Winsulangi adalah sahabat dari Tadohe.
Walaupun Don Juan lebih bersimpati ke Spanyol tapi sepak terjang Makassar di
anggap sangat berbahaya bagi kedudukan Siau. Putra Don Juan yang bernama Don
Ventura sama sama “dibesarkan oleh didikan Spanyol’’ sebagaimana di urai dalam
bagian kedua dari Tulisan ini. Setelah berupaya keras menghalau pengaruh
Makassar di wilayah Sulawesi utara, kini Loloda Mokoagow harus berkosentrasi
menghadapi kekuatan Spanyol.
Membaca David Henley kita
memperoleh informasi, Raja Manado dua kali mengirim utusan ke Ternate meminta
kehadiran Belanda dan Ternate untuk melawan Spanyol di Sulawesi Utara.
"Envoys from North
Celebes did seek Dutch protection against Spanish enemies in 1643 and 1654,
they came both times in the name of the raja of Manado and Bolaang'' (Setelah
bentrokan besar antara Kerajaan Manado melawan Spanyol tahun 1642, Garnisum Spanyol
masih bertahan di Manado, Tahun 1643 setahun setelah utusan dikirim, pecah
pertempuran besar seperti yang turut disinggung oleh Lopez: "Garnisun
Spanyol masih berada di Manado sekarang akan menghadapi pemberontakan lokal
paling kejam sampai saat ini: pemberontakan 10 Agustus 1644".
Perlawanan Raja Manado terus
bergelora dan disokong rakyatnya dari pesisir termasuk Bolaang, Bantik, Tonsea,
kelompok Batachina (Bacan) di Manado dan beberapa kelompok suku Alifuru di
pedalaman, kecuali Tondano yang disebut masih selalu setia bersama Spanyol.
Utusan yang dikirim Raja
Manado era Tadohe akhir tahun 1643 tiba bulan Februari dan diterima bulan April
1644, atas desakan Sultan Ternate dibentuk ekspedisi gabungan Belanda Ternate. Tak
berselang lama Kapal Egmont dikirim ke Manado untuk memenuhi permintaan Raja Manado.
Perihal ekspedisi bantuan
untuk kerajaan Manado melawan Spanyol ini disebutkan oleh Stella Mantiri : ''Kapal
Egmont di kirim Ke Bandar Manado bersama seorang kapiten Melayu, Paulus
Andriessen, 70 orang Belanda dan 50 orang Mardika (Mardika ini adalah keturunan
Porto moluccas yang kelak di kenal sebagai borgo) serta di perkuat oleh
sejumlah kora kora Ternate''. Ekspedisi ini cukup sukses, sisa-sisa pasukan
Spanyol korban perang 10 Agustus 1644 ketakutan dan segera meninggalkan Manado.
Tahun 1652 Spanyol di Ternate
mengirim ekspedisi ke Manado dengan maksud menghukum para pemberontak
(Peristiwa 10 Agustus 1644). Lopez menyatakan :”Pada tahun 1652 dari Ternate
sebuah ekspedisi untuk menghukum pemberontak dikirim di bawah komando Kapten
Bartolom de Cosar, dan masa inap diperpanjang setidaknya selama satu tahun”.
Awalnya pasukan Spanyol
memusatkan kekuatannya di Tondano serta menduduki Amurang. Dari Amurang mereka
berhasil menerobos masuk kerapatan hutan rimba hingga menembus keberadaan
suku-suku Alifuru di pedalaman hutan rimba dan dataran tinggi. Spanyol lantas
berhasil menguasai suku-suku itu setelah melalui medan yang sulit
ditembus.
Hal yang mulanya diragukan
Loloda Mokoagow. Disitu Spanyol mulai menancapkan kukunya. Tujuan utamanya
adalah menguasai produksi beras. Sisanya adalah apa yang membuat suku-suku
pedalaman mulai tak nyaman oleh gangguan Spanyol yang bertindak semena-mena dan
kurang-ajar.
Spanyol Terusir dari Manado
Akhir Tahun 1653, Loloda
Mokoagow kembali mengirim utusan ke Ternate. Kali ini ia berani berhitung
dengan cara mengundang kehadiran VOC-Belanda ke Manado. Tujuannya jelas, sebab
ia mulai gusar dengan keberadaan Spanyol di pesisir wilayahnya bahkan Spanyol mampu masuk hingga ke pedalaman. Di Tahun yang sama Sultan Hasanudin menjadi penguasa baru kerajaan Gowa-Talo (Makassar). Peta kekuatan pun mulai bergerak dinamis di seantero sulawesi termasuk sulawesi utara. Hasanudin menjadi ancaman baru bagi kekuasaan VOC.
Menurut Stella Mantiri,
Loloda Mokoagow mengirim utusan kepada Gubernur Belanda di Ternate untuk
menjalin persahabatan dan persekutuan serta mengijinkan VOC mendirikan Loji
tetap di negerinya yang mengenai hal mana telah diberikan penjelasan dan
kebijaksanaanya kepada Tuan Arnold De Vlamingh Van Outhoorn (De Vlaminghs)
bersama Gubernur dari Ternate oleh Pemerintah Tinggi VOC'. Dijelaskan juga
bahwa daerah pedalaman sudah sulit diharapkan karena telah dikuasai
Spanyol.
Utusan Raja Loloda Mokoagow
ditanggapi serius oleh Pemerintah Belanda di Ternate. Tak tangung-tanggung
Gubernur Simon Cos datang langsung ke Manado mendirikan benteng kayu.
Menurut Mantiri, tindak
lanjut dari itu Raja Manado menyiapkan 700 waraney guna menghadapi kemungkinan
serangan Spanyol dan Belanda menempatkan 8 orang garnisun di Manado.
Upaya Raja Loloda Mokoagow
untuk melenyapkan kekuatan Spanyol akhirnya mulai terlihat hasilnya, dengan memperhitungkan
situasi politik regional serta memanfaatkan kekuatan Belanda akhirnya Tahun
1654 Spanyol menandatangani Perjanjian dengan Raja Manado. Sebagaimana catatan
Lopez Berikut kutipannya : ''Pada 16 Juli 1654, perjanjian perdamaian baru
ditandatangani dengan Manado. kami mendokumentasikan surat dari Gubernur
Manrique de Lara di mana dia mengatakan bahwa ada perdamaian yang
ditandatangani dengan raja-raja Macasar, Tidore, Calonga dan Manado''.
Penandatangan perdamaian ini
belum juga memupus niat Spanyol untuk terus menjaga kehadiran kuasanya di
Manado. Tahun 1656 Spanyol masih berusaha mempertahankan kehadirannya di
Manado, seperti yang di urai oleh Lopez : ''Kita sekali lagi mendapat
kesaksian tentang kehadiran Spanyol di Manado selama tahun 1656, ketika
sumber-sumber Fransiskan mencatat ekspedisi lain di bawah komando Sersan Mayor
Juan de Ytamarren (di mana Fransiskan Fray Pedro de San Buenaventura akan
pergi)".
Siau sebagai sekutu utama
Raja Manado-Bolaang tetap memperlihatkan kedekatannya dengan Spanyol, kata
Lopez ; "Manado, recelosa del poder de Siao'' “Manado mulai mencurigai
Siau”. Namun karena ikatan keluarga dan perhitungan kekuatan politik lawan
lawannya, Loloda Mokoagow menghindari konfrontasi dengan Siau secara terbuka.
Aliansi dengan Makassar melawan Belanda
Mengutip dari Mantiri Tahun
1657 VOC-Belanda memperkuat garnizunnya di Manado, Benteng kayu tetap
dipertahankan dan menambah 35 tentara Belanda.
Menurut Lopez, tindakan
Belanda ini bentuk dari ambisi untuk menguasai Manado dengan memanfaatkan
permintaan bantuan Raja Manado. mengutip dari Lopez: "Belanda
mulai untuk berambisi menguasai langsung wilayah ini, dan pada 1657 mereka
mendirikan pemukiman pertama mereka di Manado. Mengambil keuntungan dari
permintaan bantuan lokal ( utusan Raja Manado), mereka memulai pembangunan
benteng pertama mereka di daerah tersebut, dari mana mereka akan mencoba untuk
memutuskan aliansi yang masih dimiliki penduduk setempat ( Alifuru Pedalaman)
dengan Spanyol".
Namun Tindakan Belanda ini
bisa di baca dan di antispasi oleh Loloda Mokoagow, Loloda Mokoagow secara diam
diam membangun hubungan dengan kesultanan Gowa-Tallo. Memanfaatkan perubahan
politik yang terjadi di Makassar, Tahun ini Tahta kesultanan Gowa di pegang
oleh Sultan Hasanudin. Lagi lagi kebijakan politik yang berbeda dengan
sebelumnya diambil oleh Loloda Mokoagow. Sebelum Sultan Hasanudin berkuasa,Gowa
Talo pernah beberapa kali melakukan ekspedisi penaklukan ke jazirah utara
Sulawesi bahkan menduduki kerajaan Buol yang merupakan salah satu sekutu dari
Bolaang sehingga memicu ekspedisi pembebasan yang di lakukan oleh koalisi Manado (Bolaang)-Siau. Ketegangan antara kekuatan Bolaang melawan pengaruh Makassar
berlangsung sejak awal Loloda Mokoagow menjadi Raja dan situasi mulai berubah
sejak Sultan Hasanudin berkuasa yang sangat bermusuhan dengan Belanda bersamaan
Belanda mulai menancapkan kuku kekuasaannya di Manado.
Setelah merasa aman dari
gangguan Spanyol, Loloda Mokoagow berupaya menarik Makassar untuk mengimbangi
kekuatan Simon Cos di Manado. Utusan Loloda Mokoagow menyampaikan ke pihak
Makassar perihal pembangunan benteng kayu di Manado dengan maksud agar Makassar
turut serta menggagalkan pembangunan Benteng kayu ini karena akan membahayakan
sekutu Makassar di utara Sulawesi.
Pada tahun 1657 Simon Cos
menerima surat dari Residen Makassar bertanggal 14 Juni 1657 yang memberitakan
laporannya kepada Pemerintah tertinggi VOC bahwa telah terjadi perselisihan
antara Raja Makassar dengan VOC di sebabkan VOC telah mendirikan tempat
kedudukannya (benteng kayu) dibandar Manado yang menurutnya masih masuk wilayah
kekuasaan Makassar bukan Ternate.
Mengutip dari Stella Mantiri
bahwa Pembangunan Benteng kayu ini
mengakibatkan Simon Cos mendapat tekanan dari pihak Pemerintahan tertinggi VOC,
akhirnya permasalahan pembangunan benteng kayu ini menjadi polemic antara VOC,
Ternate dan Makassar dalam posisi pihak pihak yang berbeda. Bahkan Pemerintah
tertinggi VOC meminta agar Simon Cos tidak mencampuri urusan antara Makassar
dan ternate dengan kata lain agar benteng kayu ini di tinggalkan. Pada tanggal
7 agustus dan 10 september 1657 pemerintah tertinggi juga menyampaikan hal ini
kepada kepala benteng kayu Sersan Paulus Andriessen di bandar Manado namun
Simon Cos masih kukuh mempertahankan benteng kayu ini.
Sementara itu kelompok oposan
Loloda Mokoagow yang terkosentrasi di Pulau Manado tua sudah beberapa tahun
sebelumnya mulai memperlihatkan sikap tidak patuh kepada Loloda Mokoagow, karena
di tenggarai otak oposan ini adalah keluarganya sendiri yakni keturunan
Lumantut adik dari kakeknya (Mokodompit), kelompok oposan yang terkenal adalah kelompok yang di pimpin oleh Manirika. Para oposan ini sebenarnya di ketahui
oleh Raja Siau (Dom Ventura) yang merupakan sahabat dan keluarganya juga. Ini
juga berpengaruh terhadap Tindakan Loloda Mokoagow. Tidak ada operasi Militer
atau peperangan yang berdarah darah. Loloda Mokoagow melakukan Blokade ketat
yang berkepanjangan atas pulau Manado tua. Bahkan untuk melumpuhkan kelompok
oposisi ini, pasukan Loloda Mokoagow melepaskan monyet monyet liar di pulau
ini, monyet monyet liar ini akhirnya menjadi hama di lahan pertanian. Dengan demikian
pulau ini akan merana, sunyi dan di tinggalkan oleh penduduknya (kaum oposan)
tanpa pertumpahan darah.
Pengaruh Simon Cos yang makin
kuat di Manado serta upaya monopoli berasnya membuat Loloda Mokoagow mulai menghambat
atau memperlambat pembangunan Benteng. Gejolak mulai muncul di pesisir Kema
yang mulai memperlihatkan antipati terhadap Belanda. Sementara itu wilayah
pedalaman suku-suku Alifuru mulai diprovokasi oleh spanyol.
di Makassar situasi politik bergerak sangat cepat, Mengutip dari Sagimun dalam
bukunya yang berjudul Sultan Hasaanudin melawan VOC : “Pada tanggal
16 September 1659 Willem Bastingh berangkat menuju ke Batavia (Jakarta). Atas
persetujuan dan atas idzin Sultan Hasanudin tiga orang Belanda boleh tinggal di
Sombaopu, yakni seorang pembantu, seorang penterjemah dan seorang pelaut
(matroos). Pembantu yang ditinggalkan itulah pada bulan Nopember 1659 menulis
surat ke Batavia (Jakarta). Pembantu itu melaporkan bahwa di Sombaopu tersebar
luas berita bahwa pada tahun yang akan datang VOC akan memaklumkan perang
kepada kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka kerajaan Gowa giat membangun
pertahanan-pertahanan. Kerajaan Gowa mengadakan persiapan untuk menghadapi serangan
VOC. Memang VOC sudah beberapa kali memblokade dan menyerang Sombaopu, ibukota
kerajaan Gowa”.
Masih menurut Sagimun, dalam
bulan Januari dan bulan Pebruari 1660 sejumlah besar kapal-kapal yang memang
sudah dipersiapkan berangkat Ambon. Untuk tidak menimbulkan curiga pada
orang-orang Makasar maka kapal-kapal itu berangkat sekelompok demi sekelompok.
Jadi tidak sekaligus bersama-sama. Oleh VOC direncanakan agar pada musim
kemarau yang akan datang kapal-kapal itu berangkat dari Ambon menuju ke
Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa. Sebagai pemimpin armada V.O.C. ini ditunjuk
dan ditetapkanlah Mr. Johan van Dam.Jabatan Van Dam yang terakhir ialah sebagai
Majoor van Batavia. Sebagai wakil van Dam ditunjuk Johan Truytman. Armada ini
terdiri dari 31 (tiga puluh satu) buah kapal besar dan kecil serta membawa 2600
(dua ribu enam ratus) orang, diantaranya terdapat 400 (empat ratus) orang
Ambon. Valentijn menyatakan 33 (tiga puluh tiga) buah kapal dengan anak buah
2700 (dua ribu tujuh ratus) orang. Kecuali para pemimpinnya tidak seorang
anak-buahpun yang tahu ke mana tujuan armada itu. Armada perang VOC secara
bertahap terkosentrasi di Ambon
Menurut Stella Mantiri tahun
1660 VOC tidak berhasil mendapatkan beras yang dibutuhkan dari pedalaman.
Akibatnya Simon Cos yang tak sabar mulai unjuk kekuatan. Ia memblokade selat lembeh dengan menempatkan 2 buah kapal VOC untuk patroli. Melihat situasi
politik di Maluku dan sekitar Sulawesi yang mulai memanas terkait persiapan
perang Makassar, Operasi blockade dari Simon Cos ini juga bagian dari upaya VOC
memotong distribusi bantuan untuk Makassar dari arah utara.
Sagimun juga menjelaskan
bahwa pada tanggal 6 Juni 1660 armada perang VOC telah berada di depan laut
Makassar, Penyerangan besar besaran terjadi tepat pada tanggal 12 juni 1660,
benteng panakukang pun diduduki oleh VOC. Terjadi perundingan damai (genjatan
senjata) yang cukup alot dan memakan waktu berbulan bulan.
Pada Tanggal 19 agustus 1660 Karaeng
Popo sebagai wakil Duta Makasar menandatangani perdamian dengan pihak VOC di
Batavia,yang salah satu pasalnya Makassar tidak di perbolehkan mencampuri
urusan Manado.perjanjian yang masih di tolak oleh Sultan Hasanudin sementara
itu Simon Cos dengan armada perangnya melakukan patroli “show of Power”di
sekitar laut Sulawesi termasuk di teluk Amurang di depan istana Loloda Mokoagow,
peristiwa ini menyebabkan Loloda Mokoagow yang berada di Amurang menyingkir ke
Bolaang sebagaimana catatan kaki oleh Leupe dalam Het Journaal Van
Padtbrugge's Reis Naar Noord-Celebes En De Noordereilanden, namun menurut
Stella Mantiri Di saat-saat itu Raja Loloda Mokoagow justru berlayar ke wilayah
lain memperkuat aliansi mulai dari Teluk Tomini, Belang, Kema, hingga Buol
dikunjungi langsung. Selain Loloda Mokoagow berpartisipasi dalam perang
makassar di sekitaran teluk Tomini.
Sebagaimana Raja Manado yang
mulai konflik dengan Belanda (Simon Cos), Tonsea di wilayah pesisir (Kemah) pun
mulai bergejolak. Mantiri menyebutkan "Simon Coz mendatangkan 4 kapal
Chaloupen bersama 65 prajurit dan beberapa orang merdeka untuk menumpas
pemberontakan di negeri kema''.
Situasi Sulawesi utara saat
itu memanas. Kerajaan Manado yang berupaya menyingkirkan Spanyol dengan bantuan
Belanda, kini harus menghadapi penindasan oleh Belanda, kiniLoloda Mokoagow sangat berharap kehadiran sekutunya,kerajaan Makassar
di utara Sulawesi untuk bersama sama mengusir kekuatan Belanda namun tidak terjadi, tanggal 1 desember 1660 Sultan Hasanudin
menandatangani perjanjian damai yang telah di tandatangani oleh wakilnya yakni
Karaeng popo saat berada di Makassar. Di sisi lain VOC merugi karena target
untuk mendapatkan beras sebagai penopang pangan VOC di Ternate pun gagal, Rakyat
di pesisir yang anti Spanyol pun mulai memusuhi Belanda. Tonsea yang anti
Spanyol di serang oleh Belanda. Sementara itu dipihak Spanyol, Tondano masih
teguh berdiri bersama Spanyol.
Setahun setelah penandatangan
perjanjian damai, Sultan Hasanudin membatalkan sepihak beberapa pasal dalam
perjanjian ini, Perang kembali berkobar, Loloda Mokoagow mulai
mempersiapkan segala hal untuk bergabung dengan Makassar jika perang merembet
sampai ke utara, bahkan di sekitar teluk Tomini Pasukan Loloda aktfi bertempur
di pihak Makassar.
Tahun 1662 Gubernur maluku di
gantikan oleh Anthonij van
Voorst. Gubernur ini berupaya menghindari konfrontasi dengan penguasa penguasa
lokal, ini juga kebijakan dari pemerintahan tertinggi VOC mengingat di tahun
ini ketegangan melanda nusantara timur.
Tahun 1663 terjadi
pemberontakan besar di Tondano melawan Belanda yang oleh beberapa kalangan
disebut sebagai Perang Tondano I. Menurut Belanda peristiwa ini di latar
belakangi provokasi pihak Spanyol ke penghuni Tondano sebagaimana di ungkapkan
oleh Lopez : “Belanda menunjuk (menuduh) sebagai penghasut besar
pemberontakan ini seorang Yesuit Francisco de Miedes, yang setelah dievakuasi
Spanyol dari Maluku mampu merekrut 50 pengikut di Ternate untuk mencapai
Sulawesi melalui Siao. Jesuit pada tahun 1663 di Tondano menawarkan bantuan
untuk berperang melawan Belanda, menyediakan mesiu dan mendorong kemungkinan
membangun benteng lagi di dekat daerah itu''. Bersamaan dengan ini beberapa
tempat di Halmahera terjadi letupan pemberontakan melawan Belanda.
Di Makassar tahun 1663
terjadi pertempuran skala kecil yang turut memanaskan situasi, sebagaimana di
Manado, VOC menuduh Spanyol memprovokasi rakyat Manado, di Makassar, VOC
menuduh inggris memprovokasi rakyat Makassar memusuhi Belanda. Tanggal 20
Desember 1663 Sultan Hasanudin di kunjungi utusan pemerintah tertinggi VOC dari
Batavia dengan membawa berbagai hadiah untuk Sultan dan para pembesar kerajaan
namun di tolak oleh Sultan Hasanudin, Sultan tetap menuntut Buton dan pulau
muna di kembalikan ke Makassar hal yang sulit di penuhi oleh VOC. Sementara itu
kesultanan Ternate yang mengambil alih Buton dan Muna sampai tahun ini belum
juga melibatkan diri dari perang Makassar, tapi permintaan Sultan Hasanudin ini
membuat Sultan Ternate geram dan kelak bergabung dengan VOC menggempur
Makassar.
Gubernur
Anthonij van Voorst sempat mempertimbangkan untuk menarik kembali seluruh
personil Belanda yang berada di Manado, mengingat bebab biaya perang VOC yang
tingggi di tambah lagi dari segi ekonomi bandar Manado masih di anggap kurang
menopang, tapi niat ini pun tak terjadi, mengutip dari Sagimun “tahun 1665
Sultan Hasanudin membatalkan seluruh perjanjian damai dengan VOC” yang
otomatis pasal yang melarang Makassar mencampuri urusan Manado tidak berlaku
lagi. Tanda awas bagi VOC yang berkedudukan di Manado. Anthonij van Voorst
berindak cepat, Manado pun segera di kunjungi. Mengutip dari Stella Mantiri :”pada
tanggal 16 juni 1665 Anthonij van Voorst berangkat dari Ternate menuju Manado
dengan menggunakan kapal milik Sultan Ternate, ia tiba di Manado pada tanggal
28 Juni 1665”.
Di
Manado Anthonij van Voorst bersikap lebih lunak kepada Raja Manado,Loloda
Mokoagow walau pihak VOC sudah mempergoki armada Loloda Mokoagow terlibat dan
sepihak dengan Makassar. Sebagaimana di sampaikan oleh Valentijn, Anthonij van
Voorst mengunjungi Raja Manado di amurang dengan membawa berbagai hadiah untuk
sang Raja sebagai bentuk tanda hormat dan persahabatan. Anthonij van Voorst
melakukan negosiasi kembali dengan Raja Manado, Loloda Mokoagow perihal
perdagangan yang lebih adil di antara kedua pihak. Anthonij van Voorst juga
meminta izin untuk mengganti benteng kayu dengan beton yang di biayai oleh VOC
dan tenaga kerja di sediakan oleh Loloda Mokoagow.
Tahun
1666 kerajaan Manado bisa menikmati hasil perdagangan dengan VOC yang saling
menguntungkan, kekuatan Spanyol sudah hilang dari daratan utara Sulawesi, namun
demikian sepak terjang VOC sudah sangat di pahami oleh Loloda Mokoagow. VOC
bagaikan predator yang kapan saja siap memangsa kekuasaan Loloda Mokoagow. Raja
Manado ini pun mengambil langkah politik tetap bersekutu dengan Makassar
apalagi sampai tahun 1666 Makassar masih perkasa belum terkalahkan. Langkah
politik Loloda Mokoagow yang oleh Dunnebier di sebut “salah perhitungan”.
Menurut Stella Mantiri Loloda Mokoagow mengirim ribuan pasukannya dari
pangkalan Militer yang berada di Bouton (Gorontalo) dan Belang untuk berperang
di pihak Makassar, bersamaan dengan itu sekutu kerajaan Manado di utara
Sulawesi dari Buol, Kaidipang hingga Siau bersiap sedia jika perang Makassar
sampai ke jazirah utara Sulawesi.
Tahun
1667 Makassar pun takluk kepada VOC,
dengan terpaksa Sultan Hasanudin menandatangani perjanjian Bongaya II pada
tanggal 18 November 1667 yang salah satu pasalnya, Manado di serahkan di bawah
kekuasaan Ternate.
Manado Paska Perjanjian Bungaya II
Setelah mengetahui kejatuhan
Makassar,Loloda Mokoagow kembali memperkuat peran politiknya di utara Sulawesi,
bersama sekutu sekutunya tetap bersiaga namun menghindari perang terbuka dengan
pihak VOC. Ketegangan pun mulai melanda Manado dan sekitarnya. Pengaruh Loloda
Mokoagow yang membentang luas di Jazirah utara Sulawesi membuat VOC berpikir
ulang untuk melakukan penyerangan terbuka kepadanya, demikian juga Loloda
Mokoagow melihat kekuatan militer VOC dan sekutunya berupaya menghindari
konfrontasi terbuka dengan VOC, diplomasi dan politik pun di tempuh demi
menjaga kemerdekaan Manado dan Bolaang.
Inisiatif pun muncul dari
pihak VOC, sebagaiman di urai oleh stella Mantiri bahwa Tahun 1668 Presiden VOC
Maxiliam De Jong tiba di Manado dari Batavia untuk berunding dengan Raja
Manado, Loloda Mokoagow. Selain meminta maaf atas perlakuan sersan Jan Baptisa
yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin Manado, De Jong pun memastikan
bahwa efek perang Makassar tidak akan sampai di Manado. Selain itu VOC tidak
ada niat untuk berperang dengan Manado, akibat perang Makassar, Manado di bawah
perlindungan VOC dan ini dilakukan bukan untuk menguasai Manado. Penyampaian
dari De Jong ini untuk sementara membuat lega Loloda Mokoagow, setidaknya
Kerajaan Manado-Bolaang tidak mendapat serangan pembalasan dari pihak VOC
akibat sikap Loloda Mokoagow dalam perang Makassar. De Jong juga tidak
menyinggung soal alih kekuasaan Manado ke Ternate sebagaimana yang termuat
dalam perjanjian Bungaya II namun De Jong meminta agar Loloda Mokoagow datang
sendiri ke Ternate untuk menandatangani perjanjian damai dengan VOC dan VOC akan
menjadi pelindung Manado. Pada kesempatan itu juga seorang Pendeta yang datang
bersama sama dengan De Jong membaptis beberapa warga Manado sekaligus
memberkati 6 orang keturunan portugis maluku yang menjadi pengawal garnizun VOC
yang menikah dengan 6 orang perempuan biasa dari penduduk lokal. Keturunan 6
orang inilah kelak di sebut sebagai orang orang Borgo.
Tahun 1670, setelah 3 tahun
perjanjian Bungaya II, Manado masih di kuasai oleh Loloda Mokoagow, permintaan
De Jong agar Loloda Mokoagow datang ke Ternate untuk menandatangani perjanjian
dengan VOC pun di acuh kan saja oleh Loloda Mokoagow. Di tahun ini, Sultan
Ternate Mandarsjah yang bertolak dari Batavia singgah di bandar Manado
sebagaimana di urai oleh Stella Mantiri, pada tanggal 28 agustus 1670, Sultan
Mandarsjah tiba di Manado, Di Manado sang Sultan di temani sersan Jachoum
Sipman untuk menuntut penyerahan kekuasaan Manado dari raja Loloda Mokoagow, Raja
Loloda Mokoagow yang mengetahui pasti tentang dampak perjanjian Bungaya II,
lebih banyak berdiam di istananya di Amurang dan Bolaang. Sultan Mandarsjah
memanggil Loloda Mokoagow yang berada di Amurang untuk menghadapnya. 8 hari
lamanya Sultan Mandarsjah menunggu datangnya Loloda Mokoagow namun Raja Manado
ini pun tak kunjung datang.
Saat akan kembali ke Ternate
rombongan Sultan Ternate yang di lengkapi dengan perlengkapan perang canggih
bersua dengan kapal milik Loloda Mokoagow di sekitar pulau bangka. Nampaknya
Sultan Ternate tidak menduga kehadiran kapal milik Loloda Mokoagow di pulau
bangka ini dalam posisi berhadapan yang kesannya menghadang rombongan besar
kesultanan Ternate dan VOC ini demikian juga Loloda Mokoagow tidak menyangka,
Sultan Ternate saat itu bersama sama dengan rombongan besar VOC dalam kapal
perang tercanggih di zamanya. Loloda Mokoagow di sambut di atas kapal Sultan
Mandarsjah di sekitar pulau bangka dengan penuh kehormatan demikian juga Loloda
Mokoagow menyatakan rasa hormatnya untuk Sultan Ternate ini, terjadi
pembicaraan singkat antara Sultan Ternate dan Raja Manado, Tradisi di Mongondow
menyebut dalam pertemuan ini Loloda Mokoagow bersyahadat dan masuk Islam namun
Stella Mantiri menyebut bahwa dalam pertemuan ini di bahas perihal penyerahan
Manado kepada Ternate yang penandatangannya di Ternate dalam waktu dekat ini.
Perjanjian yang akan di kukuhkan di depan Presiden, nampak Sultan Mandarsjah
tidak mengetahui bahwa Presiden yang di maksud telah mengunjungi langsung Raja
Loloda Mokoagow dua tahun sebelumnya yang mana juga membahas tentang dampak
perang Makassar.
Setelah selesai berbicara
dengan Sultan Mandarsjah, Loloda Mokoagow di antar oleh sersan Sipman dengan
kapal perangnya ke Bandar Manado,
kejadian ini membuat huru hara di pedalaman, rakyat kebanyakan mengira Raja
loloda Mokoagow di tawan oleh VOC, para waraeny dari ponosakan, ratahan dan
lain lain mengepung dan menyerang suku suku alifuru di sekitar Tondano yang di
tuduh berpihak ke VOC. Kerusuhan ini berlangsung sekitar 2 tahun. Kerusuhan
yang oleh beberapa kalangan abad belakangan di interpretase sebagai perang kerajaan
Bolaang Mongondow melawan “Minahasa”.
Tahun 1674, DS Montanus
mengunjungi Manado, Loloda Mokoagow masih berkuasa atas Manado. mengutip dari DS Montanus: "putri yang
masih kafir dan pamannya yang adalah Raja Manado (Loloda Mokoagow) memintanya
untuk mengadakan kebaktian, Raja dan putri ini duduk di tempat terhormat
bersama 90 orang lainnya. Montanus juga menggambarkan wilayah kekuasaan Raja
Loloda Mokoagow terdiri dari Bolaang hingga kuranga (berbatasan dengan
Gorontalo) hingga utara pulau pulau sekitar bangka, tanjong pulisan dan lain
lain".
Waktu pun terus berjalan,
Loloda Mokoagow masih perkasa, terus berjuang dengan jalur diplomasi dan
politik mempertahankan kemerdekaan kerajaan Manado dan Bolaang, Tahun 1675
Sultan Mandarsjah di gantikan oleh Sultan Sibori. setidaknya sampai tahun 1677
saat kedatangan gubernur Robertus Padtbrugge ke Sulawesi utara, Loloda Mokoagow
belum juga menandatangani penyerahan atas manado ke Ternate sebagaimana
perjanjian Bungaya II, 10 tahun silam.
Loloda Mokoagow versus Robertus Padtbrugge.
Tanggal 1 Januari 1677,Juwono
yang mengutip dari ANRI menyebutkan bahwa Sultan Sibori melepaskan kekuasaannya
atas Gorontalo dan menyerahkannya ke VOC. Juwono juga menyebut sikap Sultan
Sibori ini erat kaitannya dengan masalah pribadi terkait perempuan perempuan Gorontalo.
Ini juga yang akhirnya melemahkan aliansi Sultan Sibori melawan VOC beberapa
tahun kemudian. Raja Eyato yang terlibat perang Makassar yang sepihak dengan
Loloda Mokoagow ini pun akhirnya di bungkam oleh VOC dengan perjanjian yang di
tandatangani oleh Raja Eyato dan Robertus Padtbrugge. Perjanjian ini akhirnya
di anulir oleh Gubernur Jenderal VOC di Batavia, mengingat perjanjian yang
mengatasnamakan VOC harus di ketahui oleh penguasa tertinggi. Perjanjian ini
sah jika di tanda tangani di benteng Oranye Ternate. akhirnya penandatangan
ulang pun di lakukan oleh Raja Bya (pengganti Eyato) beserta pembesar kerajaan
setahun kemudian.
Saat Gubernur Robertus
Padtbrugge mengunjungi Sulawesi Utara selain masalah pengambil alihan Gorontalo
Misi utama Robertus Padtbruge adalah menghapus pengaruh Spanyol dari Sulawesi
utara dan pangkalan utama Spanyol adalah Siau.
Siau saat kedatangan Robertus
Padtbrugge di pimpin oleh Raja Fransisco Xavier. Raja ini bersitegang dengan
berbagai kerajaan yang ada di sekitarnya bahkan sempat mengancam akan menyerbu
kaidipang yang merupakan sekutu Manado-Bolaang. sementara itu Sultan Sibori
yang merupakan sekutu terdekat Loloda Mokoagow saat ini berhasrat menaklukan
Siau. Sultan Sibori di ketahui selalu membantu Loloda Mokoagow dalam menumpas
pemberontakan di wilayahnya, bahkan Montanus menyebut hubungan kedua Raja ini
bagaikan guru dan murid. Sementara itu gubernur Robertus Padtbrugge masih tetap
menjaga hubungan baik dengan Spanyol namun terus mendorong penyerbuan atas
wilayah spanyol ini dengan menggunakan nama koalisi Ternate.
Saat penyerbuan ke Siau, pasukan Manado-Bolaang di pimpin
oleh Pangeran Mokodompit (adik Raja Loloda Mokoagow) dan Jeronimo D’Arras
(menantu Loloda Mokoagow),Perang pun di tabuh pada tanggal 23 Oktober 1677 di
mulai dengan pengepungan Siau oleh Koalisi Ternate. Perang pun berakhir dengan
kekalahan telak Siau pada tanggal 1 November 1677. Perjanjian damai secara
resmi pun di tandatangani pada tanggal 8 November 1677, Loloda Mokoagow salah
satu penandatangan dan tertera sebagai Raja Manado.
Tahun 1677 di pastikan Manado
masih di kuasai oleh Loloda Mokoagow, dan Raja Manado ini belum juga berkunjung
ke Ternate sebagaimana janjinya dulu kepada almarhum Sultan Mandarsjah.
Sekarang Siau telah takluk, kekuatan Spanyol sudah di pastikan hilang selamanya
dari Sulawesi utara, batu ganjalan Robertus Padtbrugge untuk menguasai Manado
dan Sulawesi utara praktis tinggal dua orang yakni Loloda Mokoagow dan Sultan
Sibori. Hubungan kedua Raja ini juga sangat menggusarkan pihak belanda,
bagaikan Guru dan murid baik perilaku maupun tindakannya. Sultan Sibori secara
diam diam tetap memberikan bantuan persenjataan ke Raja Loloda Mokoagow
pertanda Sultan Sibori sebenarnya berniat memperkuat kedudukan Raja ini, bahkan
Sultan Sibori tidak pernah serius menuntut kepemilikan Manado berdasarkan
perjanjian Bungaya.
Paska penaklukkan Siau,
Robertus Padtbrugge juga mulai memikirkan cara menghancurkan kekuatan Loloda
Mokoagow atas Manado, apalagi nampak Loloda Mokoagow tidak punya niat untuk
mewujudkan perjanjian Bungaya 10 tahun lalu di Mana Manado harus di serahkan ke
Ternate, lagian pihak Ternate acuh tak acuh atas kepemilikan Manado ini. Saat
Sultan Sibori berkunjung ke Manado, Loloda Mokoagow memerintahkan suku suku di
pedalaman untuk memberikan hadiah hadiah kepada Sultan Sibori sebagai tanda
hormat, dan Loloda Mokoagow pun mendapatkan bantuan peralatan perang dari
Ternate. Warga pesisir sering menyebut Sultan Sibori ini dengan Sebutan Kolano
Pasibori.
Robertus Padtbruuge berhasil
mendapatkan informasi terkait sekelompok oposan yang menentang Loloda Mokoagow,
kelompok kelompok ini bermukim di pulau Manado tua, tanpa membuang waktu,
Robertus Padtbrugge segera menyiapkan galai di temani beberapa pengawalnya
mengunjungi Pulau Manado tua yang di huni oleh kaum oposan yang melawan Loloda
Mokoagow. Robertus Padtbrugge berharap bisa memperkuat lagi barisan pemberontak
ini untuk menyingkirkan Loloda Mokoagow dari Manado, apalagi terinformasi para
pemberontak ini di dukung oleh bangsawan bangsawan dari kalangan keluarga Loloda
Mokoagow sendiri yang artinya punya hak atas Manado sebagaimana Loloda Mokoagow.
Namun apa yang di harapkan jauh api dari panggangnya, Pulau ini telah lama di
blockade oleh Loloda Mokoagow, pulau ini telah di tinggalkan oleh penghuninya,
para bangsawan yang memberontak ini telah lama pergi menuju kepulauan Sangihe.
yang di dapati oleh Robertus Padtbrugge hanya sekitar 30 orang nelayan asal
sangihe yang sakit sakitan, walaupun kecewa namun Robertus Padtbrugge tidak
tega meninggalkan rakyat jelata ini, dia membawa orang orang yang sakit sakitan
ini ke daratan Manado, menempatkannya di Sindulang.
Setelah gagal mendapatkan
kelompok oposan dari “kalangan istana’’ Manado atau bangsawan keturunan
Mokodoludut, kini ia mulai membentuk pemukiman orang orang yang di tampungnya
dari pulau Manado tua, kelompok pemukim ini sesuai Blok atau Balak yang
kemudian hari di sebut walak. Pada tahun 1678 Robertus Padtbruge juga menunjuk
seorang anggota garnizun Belanda yang bernama Bastian yang berasal dari negeri
Sawai (Pulau seram, Maluku) untuk memimpin walak ini, mengingat orang orang
yang di angkut dari pulau Manado ini jumlahnya sangat sedikit, tidak lebih dari
30 orang serta sakit sakitan sehingga Robertus Padtbruge menunjuk Bastian
seorang porto Moluccas untuk membimbing dan membina orang orang yang menderita
ini,tak perduli bahwa kelompok ini bukan oposan Raja Manado atau bahkan cuma
nelayan yang bernasib malang yang terdampar di pulau Manado tua,bagi Robertus
Padtbruge ini bakal di jadikan senjata melawan Loloda Mokoagow kelak. Mereka
adalah orang Manado yang di dzolimi oleh Loloda Mokoagow walau Robertus
Padtbruge tahu dan mencatat bahwa mereka sebenarnya berasal dari Sangihe. sementara
itu oleh Robertus Padtbruge tidak lagi menyebut Loloda Mokoagow sebagai Raja
Manado tapi sebagai Raja Bolaang. sepanjang Tahun 1678,Loloda Mokoagow nyaris
tak terlihat di sekitar Manado, Loloda Mokoagow terus melakukan perjalanan ke
berbagai negeri terutama di sekitar teluk Tomini mencoba memutus pengaruh
Robertus Padtbruge yang makin menjadi jadi, apalagi beberapa tahun sebelumnya
raja Eyato menandatangani perlindungan VOC atas Gorontalo, suatu perjanjian
yang di anulir oleh pemerintah tinggi VOC karena di anggap tidak sah jika
perjanjian itu tidak di ketahui oleh pemerintah tertinggi VOC. Seluruh
perjanjian dengan pihak VOC seyogyanya harus di tandatangani di Ternate, tempat
kedudukan gubernur.
Akhir tahun 1678, Loloda
Mokoagow belum juga muncul di Manado, muncul desas desus bahwa Loloda Mokoagow
telah meninggalkan Manado sehingga membuat Manado negeri tak bertuan, dan satu
satunya yang berdiri di Manado adalah VOC demikian desas desus yang di
hembuskan oleh pihak VOC ke masyarakat manado dan suku suku alifuru di sekitar
Manado.Siapa yang akan melindungi Manado selain VOC? Di mana Raja Manado
sekarang? Demikian pertanyaan yang muncul di benak kepala kepala suku, suatu
pra kondisi yang cerdas dari Robertus Padtbruge.
Awal Januari tahun 1679,
Robertus Padtbruge mengundang seluruh kepala suku yang ada di pedalaman maupun
di sekitar Manado untuk melakukan rapat besar. Suku tonsawang,
Ratahan,Ponosakan dan bantik menolak untuk hadir karena masih setia dengan
Loloda Mokoagow. Segala hal telah di persiapkan dengan matang oleh VOC termasuk
draf verbond dan orang orang yang akan menandatangani perjanjian ini.
10 Januari 1679, Verbond atau
kontrak pun di tandatangani. Tiga orang dari Tombulu yakni Paat,Supit dan
Lontoh membubuhkan tandatangan atas nama suku Tombulu dan suku suku lain di
pedalaman. Kontrak yang kontroversi, yang tidak pernah di sahkan atau di
kukuhkan di hadapan pimpinan tertinggi VOC. Seyogyanya perjanjian Kerjasama
atau sejenisnya formalnya di tandatangani di kastel oranye Ternate. selain itu
Raja Manado tidak pernah mengakui verbond ini. Robertus Padtbrugge sebelumnya
juga telah melakukan kontrak dengan Raja Eyato dari Gorontalo secara sepihak,
dan bukan di tandatangani di kastel oranye Ternate sehingga kontrak dengan Raja
Eyato pun di anulir oleh pemerintah tertinggi VOC dan di perbaiki lagi beberapa
tahun kemudian di kastel Oranye yang di tandatangani oleh Raja Biya pengganti
Eyato. Verbond 10 Januari 1679 memang penuh muslihat, kelompok kelompok yang
tidak hadir pun di rekayasa seakan akan telah bersetuju. Loloda Mokoagow selaku
Raja Manado tentunya menolak Verbond ini.
Tahun 1680 Robertus
Padtbrugge dengan kapal perangnya mendekati negeri Lombagin, Gubernur meminta
agar Loloda Mokoagow, Raja Manado yang menolak Verbond ini menghadapnya dengan
dalil Loloda Mokoagow terlibat persekutuan dengan Sultan Hasanudin dalam Perang
Makassar, suatu alasan yang di cari cari, bukankah paska perjanjian Bongaya,
Presiden VOC datang langsung dari Batavia untuk berjumpa dengan Loloda Mokoagow
di mana pimpinan Tertinggi VOC berjanji bahwa dampak dari perang Makassar tidak
akan sampai ke Manado, VOC ingin bersahabat dengan Raja Manado yakni Loloda
Mokoagow, Namun Gubernur Robertus Padtbrugge ini mulai kalap mata, apalagi Manado
sejak perjanjian Bongaya 10 Tahun lalu tidak pernah di serahkan secara resmi
oleh Loloda Mokoagow ke Ternate. Panggilan Robertus Padtbrugge di acuhkan oleh
Loloda Mokoagow, sang Raja hanya mengirim adiknya pangeran Mokodompit untuk
bertemu dengan Robertus Padtbrugge, sikap ini membuat sang Gubernur jadi kalap,
Gubernur pun memerintahkan pasukannnya untuk membombardir Desa Solimandungan
serta membakar perkampungan besar ini.
Sejak kejadian ini, menurut
tradisi, Raja Loloda Mokoagow makin waspada, lebih dari 300 pasukan Bantik
berada di samping Loloda Mokoagow, kemana pun Raja berada, pasukan Bantik
melakukan pengawalan dengan ketat bahkan setiap tamu yang akan bertemu dengan
Raja, harus melewati protokoler ketat dari pasukan Bantik, setiap tamu di awasi
secara ketat.
Lebih dari 10 tahun paska
penyerangan Robertus Padtbrugge, Loloda Mokoagow masih tetap berkuasa walaupun
telah banyak kehilangan wilayah teritorinya akibat di gerogoti oleh VOC, Kini
Loloda Mokoagow sudah sangat kesulitan menegakkan supremasinya atas Manado tapi
di tahun ini Loloda Mokoagow masih tetap perkasa, kerajaan Bolaang masih tetap
merdeka penuh walau kehilangan Manado.Upaya Loloda Mokoagow untuk menarik kekuatan Inggris dalam konflik di sulawesi utara tak membuahkan hasil.
Berakhirnya kekuasaan Loloda Mokoagow
Tahun 1689 Belanda mulai
memainkan politiknya untuk melemahkan kerajaan Bolaang yang masih merdeka saat
itu. Belanda paham bahwa secara adat, Raja Bolaang di pilih dalam bakid, dewan
adat yang duduk dalam musyawarah Bakid punya kekuasaan penuh melebihi kuasa
Raja dalam penentuan calon raja baru, VOC Belanda pun mulai memainkan
politiknya dengan memanfaatkan adat mongondow. Sebenarnya Loloda Mokoagow
sangat menginginkan putra sulungnya yang bernama Makalunsenge sebagai
penggantinya namun pihak Belanda secara diam diam mencegah Makalunsenge menjadi
Raja lewat tangan tetua adat. intervensi Belanda kepada tokoh tokoh adat pun
berhasil, Pangeran Manoppo terpilih sebagai Raja baru menggantikan Loloda
Mokoagow pada tahun 1689. Manoppo di raja kan secara adat tahun 1689 walau
tidak di sukai oleh Loloda Mokoagow yang lebih memilih Makalunsenge sebagai
Raja.
Loloda Mokoagow wafat
Tahun 1693 Loloda Mokoagow
wafat, dengan demikian berakhirlah kiprah perjuangan Loloda Mokoagow di jazirah
Sulawesi utara, sampai wafat Loloda Mokoagow tidak pernah menandatangani
kontrak dengan pihak VOC Belanda bahkan perjanjian Bungaya pun tidak pernah di
penuhi oleh Loloda Mokoagow.
Mengutip dari Mantiri : "Hingga
Datoe Binankang, Raja Manado mangkat pada tahun 1693 ia masih mengharapkan
kembalinya Manado dan Malesung yang telah menjadi Minahasa dan Bolaang
Mongondow, suaru harapan yang tidak akan pernah terkabul karena sejarah tidak
lagi memberikan kesempatan. Seluruh nusantara sudah jatuh ke tangan VOC
dan menjadi Hindia Belanda, Bukan Tandingan pakasaaan malesung dan kerajaaan
Manado lagi. Jenazah Datoe Binankang. Raja Manado di kuburkan di Bolaang
Mongondow dan pada jaman Raja Jacobus Manoppo datanglah orang Minahasa membawa
kapur dan batu lalu membangun makam terbuat dari beton bagi Raja Manado yang
masih di kasihinya itu."
Raja Manoppo pun sejak di
lantik masih terus menuntut kepemilikan atas Manado sebagai hak waris dari
leluhurnya sejak Mokodolodut secara turun temurun di antaranya dari Damopolii,
Mokodompit hingga ayahnya yakni Loloda Mokoagow.
Tahun 1695, akhirnya Raja Manoppo
menandatangani kontrak dengan pihan VOC Belanda tepatnya tanggal 20 Mei 1695
atau dua tahun sesudah wafatnya Raja Loloda Mokoagow. sejak di lantik secara
adat di tahun 1689 Raja Manoppo masih tetap bersikukuh bahwa Manado serta wilayah
pedalaman yang di huni suku suku alifuru adalah miliknya, namun kontrak 20 mei
1695 ini memangkas keinginan Raja Manoppo untuk menuntut kepemilikan atas
Manado. Akhirnya Manado benar benar terlepas dari Bolaang setelah 28 tahun
perjanjian Bungaya di mana salah satu pasalnya Manado di serahkan ke Ternate.
kekuasaan Bolaang atas Manado pun pupus oleh kontrak culas yang di lakukan oleh
pihak VOC Belanda.
Tamat
- Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia. 2008
- Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bolaang_Mongondow
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia III. 1984
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Mokodongan,Uwin. Sejarah Desa Pasi Hingga Kiprah Loloda Mokoagow
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
- P.J.B.C. Robid Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
- Valentijn, Oud En Nieuw Oost-Indien
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949
Tidak ada komentar:
Posting Komentar