Konten ini telah tayang di Kompasiana.com Kreator: Patra Mokoginta
Makam Raja Manado, Dom Fernando. Foto Erwin Makalunsenge |
Sekilas tentang Penguasa Manado Abad ke-17
Ketika kita membuka
dokumen-dokumen tua abad ke-17, Manado akan selalu bersentuhan dengan dua
kekuasaan lokal yakni Bolaang dan Ternate. Dua kekuasaan ini selanjutnya
memiliki persentuhan dimulai dengan Portugis, Spanyol, dan VOC-Belanda.
Keterangan yang kita peroleh
dari Bolaang baik lewat daftar silsilah maupun tradisi lisan, akan muncul nama
raja-raja Bolaang yang ditarik mulai dari Mokodoludut hingga Loloda Mokoagow
yang di tradisikan sebagai penguasa Manado secara turun-temurun. Sementara dari
kalangan tradisional Maluku Utara mentradisikan bahwa sejak Sultan Baabbullah
berkuasa atas 72 negeri (termasuk Manado), kekuasaan Ternate berlaku kontinyu
tanpa putus. Namun ada fakta sejarah yang saya temui dimana penguasaan Ternate
atas Manado tidak demikian. Kecuali itu maka saya sepakat dengan David Henley
yang mengatakan; "penguasaan Ternate atas Manado atau Utara Celebes tidak
kontinue melainkan terputus-putus, setidaknya di abad ke-17".
Penguasa Manado abad ke-17 dari kalangan Dinasti Mokodoludut ada tiga orang yakni Raja Mokodompit/Mocodompis, Raja Tadohe / Dom Fernando dan Raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang). Sedangkan dari Dinasti Sultan Hairun Jamil (Sultan Ternate) antara lain; Kaicil Tulo, Sultan Sibori (Pasibori) dan Sultan Mandarsjah. Namun untuk penguasa dari Ternate penulis membatasi pada Kaicil Tulo karena dia yang terekam menyebut dirinya sebagai Raja Manado, King of Manado atau Rey de Manado. Untuk Sultan Sibori dan Sultan Mandarsjah tetap disebut sebagai King of Ternate.
Pada kesempatan kali ini saya
akan mencoba mengangkat sedikit kiprah 4 orang yang pernah menjadi Raja Manado.
Mereka adalah Mokodompit/Mokodompis, Kaicil Tulo/Cachil Tulo, Tadohe/Dom Fernando, dan Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang. Akan diawali dengan sekilas
hubungan erat antar kerajaan di Sulawesi Utara dan tengah serta bentuk otoritas
Raja awal abad ke-17.
Kerajaan dalam Rumpun Keluarga Besar.
Kerajaan yang berdiri di
Buol, Gorontalo, Kaidipang, Bolaang Mongondow hingga Siau, secara genealogis
merupakan rumpun keluarga besar. Ini bisa di telusuri dari Silsilah Raja Raja
Bolaang Mongondow yang di mulai dari Raja Mokodoludut.
Ini dapat kita mulai dari
Ratu Kaidipang bernama Lingkakoa yang nasabnya menjurus ke Mokodoludut lewat
jalur Abo Ginupit. Raja Raja Buol bernasabkan Mokoapat, hikayat–hikayat dari
Siau nasabnya bertali ke Mokodoludut lewat Lokonbanua, Raja Raja Bolango
terpaut dengan Golonggom, pendiri kerajaan Limboto yakni Ratu Tolangohula
bersuamikan Yilomoto, dimana Yilomoto adalah cucu dari Raja Bolaang bernama
Buluati atau Butiti alias Busisi hasil perkawinan dengan putri Raja Suwawa.
Maka kita tidak akan heran
ketika di Bolaang Mongondow, Mokodompit merajuk karena urusan internal
keluarga, dan pergi ke Siau. Dari Mokodompit dan Istrinya di Siau, lahir
Tadohe kemudian menjadi Raja Bolaang. Jacobus Pontoh kelahiran Bolangitang di
jemput oleh Dewan Adat Siau dan di lantik menjadi Raja Siau. Ini semua karena
adanya hubungan keluarga yang erat.
Abad ke-17 kerajaan di
Sulawesi Utara yang secara genealogis bertalian erat dengan Buol, Kaidipang ,
Bolaang dan Siau, ketika saling menguatkan dominasi masing – masing, kadang
saling membantu walau sering kali pecah juga konflik internal namun
bagaimanapun konflik itu terjadi, tak serta-merta dapat menghapus pertalian
darah sebagai satu keluarga besar, keluarga kohongian atau keluarga kerajaan.
Ikatan dan pertalian keluarga
ini bukan bersumber dari musyawarah untuk membentuk aliansi tapi benar - benar
merpakan hubungan keluarga yang erat. Ini dapat kita kroscek lewat stambom pada
masing masing keturunan raja di semua wilayah yang disebutkan di atas.
Namun demikian tulisan kali ini di batasi untuk tidak membahas silsilah
agung rumpun keluarga Raja Raja di Utara Sulawesi mulai dari Buol hingga Siau
termasuk di dalamnya suku Bantik. Kecuali itu, tulisan ini selain sebagai
koreksi atas tulisan terdahulu, adalah untuk membahas raja raja Manado abad
ke-17.
Otoritas Kerajaan Awal Abad ke-17
Membaca David Henley dalam
desertasinya berjudul Nationalism And Regionalism In A Colonial Context
Minahasa In The Dutch East Indies, maka diketahui bahwa di masa prakolonial
masyarakat di wilayah ini (Sulawesi Utara) jarang dikelola berdasarkan pada
konsep kewilayahan/teritori. Kekuasaan raja bukan berdasarkan pada wilayah
melainkan kekuasaan terhadap orang-orang/penduduk wilayah. Otoritas kerajaan
lebih tertumpu pada pribadi raja dibanding pada negara atau ibukotanya. Oleh
sebab itu, berdasarkan peran yang telah umum ini, nampaknya raja telah
menghabiskan banyak waktu untuk bergerak atau berpindah-pindah. Namun demikian
tetap melekat kepadanya otoritas kerajaan disesuaikan dengan dimana ia berada.
Inilah yang kemudian
menyebabkan para pendatang dari Eropa cukup kebingungan. Belanda misalnya. Pada
akhirnya dalam laporannya di abad ke-17, orang (raja) yang sama disebut sebagai
Raja Manado, Raja Amurang dan Raja Bolaang, karena kerap berpindah-pindah.
Disinilah diperoleh keterangan kuat bahwa otoritas kerajaan melekat pada
pribadi raja, bukan pada teritorial. DArtinya, dimana raja berada, disitu
otoritas kekuasaannya berlaku. Raja ini, menurut Henley, berperan penting pada
bagian cerita yang dijelaskannya dalam desertasi di atas. Henley mencontohkan,
raja yang dimaksud mempertahankan tempat tinggal dan istri atau selir di tiga
wilayah) (Manado, Amurang, Bolaang). Kebijakan kerajaan tidak mengenal batas
atau teritorial, sehinga dalam konsep topomini sebagaimana didaftar raja, ketika
diminta untuk mendefinisikannya wewenang itu lebih bersifat etnis ketimbang
geografis.
Raja Mokodompit (Mokodompis)
Silsilah Raja Mokodompit
N.P. Wilken dan J.A.T Schwarz
menyalin kembali silsilah kerajaan dari Jogugu Damopolii sebagaimana termuat
dalam Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou pada bagian “Buk Ouman
Sinomongondou” (Buku berbahasa Mongondow) terbit tahun 1871. Saya kutip
sedikit; “Mokodoludut yang adalah Punu (Raja) Gumolung menikah dengan
Bounia yang terlahir dari Patung Bulawan (Bambu Kuning). Mereka berdua
mendapatkan lima orang anak masing-masing: Golonggom, Ginupit, Pondadat,
Ginsapondo, Jajubangkai (Raja). Jajubangkai menikahi Silagondo bangsawan dari
Buntalo memperoleh anak masing-masing: Kinalang yang adalah Damopolii dan
Mokoapa. Si Kinalang yang adalah Damopolii menikahi Tendeduwayo bangsawan dari
Sinumolantaan memperoleh anak : Busisi (Raja) dan Ponamon. Busisi lantas
menikahi Limbatondo bangswan dari Ginolantungan memperoleh anak: Dunu, Takadumakul,
Makalunsenge dan Makalalo (Raja). Selanjutnya Makalalo menikahi Gantiganting
putri dari Mandolang memperoleh anak Mokodompit. Dari garis pihak laki laki
(Ayah) lurus ke atas : Mokodompit Putra dari Raja Makalalo, Raja Makalalo putra
dari Raja Busisi, Raja Busisi putra dari Raja Damopolii, Raja Damopolii putra
dari Raja Jajubangkai, Jajubangkai adalah putra dari Raja Mokodoludut”.
Raja Mokodompit Meninggalkan Bolaang Mongondow
Sejarah Mokodompit yang saya kutip dari buku Over de Vorsten van Bolaang Mongondow karya W.Dunnebier langsung pada poin pentingnya yakni : “Daar deze Gogoene' een vrouw uit het volk was, maakten velen heel wat minder vriendelijke opmerkingen over dit huwelijk. wege al dat gebabbel verliet Mokodompit zijn land en ging naar het eiland Sangir, waar Gogoene' het leven schonk aan een zoon, die Tadohe' werd genoemd”. Terjemahan bebasnya : “Karena Gogune (Isteri Mokodompit) dari kalangan rakyat (bukan bangsawan Bolaang) telah melahirkan banyak pergunjingan yang tak enak dari pernikahan ini. Semua pergunjingan ini membuat Mokodompit tak enak hingga memilih meninggalkan kerajaannya dan pergi ke Pulau Sangir tempat Gogune (Isterinya) melahirkan seorang Putra yang di beri nama Tadohe”.
Dalam buku Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa karya J.G.F. Riedel, mengulas jalur perjalanan Raja Mokodompit (Mokodompis) saat meninggalkan negerinya. Pada bagian Tou Babontehuh - Lumentut, Mokodompis, Riedel menulis ; “Kemudian deri pada itu maka datanglah bangsa orang asing deri fihakh salatan menurut jang ampunya tjerita sawatu Datu baserta anakh-anakhnja apatah bertjidera satara istrijnja sebabnja perkara gondikh sehingga meninggalkanlah ija tanah pandudokannja tjharaij tampat perdijaman lajin itulah,-Maka pergilah Datu ini mula mulanja singgah di Molibagoh pula berikot-ikot di pasoloh, baleng-baleng, lembeh tetapi diusirlah pada tampat tampat ini lalu berpindahlah ija pada achrinaka pulow Bangka sakarang itu - Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu”.
Dari keterangan ini
menjelaskan bahwa Datu ini berasal dari Selatan ( Bolaang Mongondow) dengan
Startingnya dari Molibagu ( Bolmong Selatan). Ini juga menegaskan bahwa Datu ini
bukan berasal dari Timur ( Bacan) yang di kira oleh Sebagian orang. Bahkan Datu
ini bertemu dengan kelompok Bacan nanti saat berada di sekitaran kepulauan
Manado.
Selain itu, ini juga
mengkonfirmasi masalah perkawinan “prahara rumah tangga“ antara Mokodompit dan
Gugune yang menyebabkan Mokodompit meninggalkan Bolaang Mongondow. Ridel memang
tidak menyebut nama Datu ini tapi pada bagian lain dari buku ini, Ridel
menyebut bahwa anak-cucu dari Datu ini bernama Mokodompis, ini juga menjadi
ambigu karena dari tradisi yang berasal dari Bolaang Mongondow bahwa ayah dari
Mokodompit ini bernama Makalalo dan ibunya seorang putri yang berasal dari
Mandolang, Makalalo menjadi penguasa Manado berdasarkan hak waris dari kakeknya
Raja Damopolii, dan Makalalo tidak pernah bermasalah dengan rumah tangganya,
prahara rumah tangga hanya terjadi pada masa Datu Mokodompit. Saya memegang
pendapat yang berasal tradisi “deri fihakh salatan” yakni
Bolaang Mongondow sebagai asal usul sang Datu. Datu ini adalah Datu Mokodompit
bukan Makalalo.
Jika Dunnebier hanya memberi
informasi sekilas tentang Mokodompit yang meninggalkan negerinya karena akibat
gunjing terkait status Isteri keduanya bernama Gogune, maka Ridel sedikit
merinci jalur perjalanan Mokodompit (Mokodompis) yang dimulai dari Molibagu
(Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini ) termasuk nama-nama tempat
yang disinggahi sang Datu, hingga menjadi Raja di Manado hingga wafatnya
Mokodompit dalam umur yang usur di Pulau Manado.
Mokodompit Raja Manado
"Datu itu kembali pergi ka
Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong
Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batu karang. serta mati ija tinggij
usija umornja pada tempat itu". Demikian kutipan Riedel menegaskan bahwa Datu
Mokodompit menjadi Raja di Manado dalam waktu yang lama, karena Mokodompit
berumur panjang.
Sebagaimana menurut David
Henley bahwa pada masa prakolonial kekuasaan raja bukan didasarkan pada
teritorial melainkan pribadi raja dan penguasaannya (raja) terhadap orang-orang/rakyat
dimana ia berada, maka sudah barang tentu baik secara spasial maupun temporal,
pendapat Henley memiliki kesesuaian dengan eksistensi Mokodoludut dimana ketika
itu konsep (politik) teritorial belum digunakan sebelum Belanda (VOC) datang
(soal tapal batas, pembagian tanah /wilayah).
Demikian juga berlaku pada
Raja Mokodompit. Ketika Raja meninggalkan tempat kediamannya di Bolaang
Mongondow, melewati jalur Molibagu (Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini)
bukan berarti kerajaan Bolaang Mongondow bubar, tapi dalam pribadi raja yang
berpindah-pindah tempat ini melekat “otoritas negara” Bolaang Mongondow pada
pribadi raja. Sang raja biasanya akan disapa oleh rakyat yang mendaulatnya
sesuai tempat kediaman Raja. Maka lazim Mokodompit disebut sebagai Raja Manado,
Raja Bobentehu, Raja Bolaang atau Raja Mongondow. Ini juga jauh maknanya dimana
seorang raja menduduki atau menaklukan banyak kerajaan.
Sebagaimana diketahui bahwa
Mokodompit sebenarnya mewarisi juga tahta kerajaan di Manado dari buyutnya
Mokodoludut, pendiri Kerajaan Babountehu atau Kerajaan Manado. Pada saat
Mokodompit berada di Manado sekaligus menjadi raja, sudah terbangun
kerjasama dengan pihak Kesultanan Ternate. Ridel mencatat ini walau agak samar
: “Adapon maka berfakatlah Lumentut dan Mokodompis itu fakatan bersudara
baserta kolanoh Tarnatej — Tobeloh. pada berparang-paranga melawan
bangsa-bangsa ini. tetapi tijada dialahkannja marika iiu, sebah terlalu amat
baranijnja, melajinkaa dibudjokhnja marika itu djuga pulang kombali,bewat
perdijamannja senderij diatas Pulau bobentehu tersebut itu”. Catatan Riedel
ini, menjelaskan pada kita relasi yang dijalin Raja Mokodompit serta menegaskan
Ibukota Kerajaan Manado di masa Raja Mokodompit berada di Manado (Sekarang
dikenal Pulau manado Tua)
Kondisi Politik Sulawesi Utara dan Maluku era akhir Mokodompit
Kejadian di Sulawesi Utara
ada korelasi dengan kejadian di Maluku Utara. Ini erat kaitan dengan jalur
perdagangan rempah yang sentralnya di Maluku. Jalur perdagangan rempah ini
terkait erat dengan berbagai kekuatan dan pengaruh baik lokal maupun bangsa
asing. Di Maluku Utara selain Ternate dan Tidore terdapat kelompok Halmahera.
M.Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah Sejarah Maluku Utara 1250-1950,
mengutip pendapat A.B Lapian: “Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis
adalah Batucina de Moro, atau Batu cina yang merujuk pada kerajaan tua di
Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil
mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucina tidak punya
hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang
menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan
rempah-rempah. Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a)
Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian,
adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya
pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu
menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan
di Jailolo”.
Kelompok Batachina ini
diketahui telah eksis di Sulawesi Utara sejak pemerintahan Sultan Hairun.
Bahkan jumlahnya sudah sangat besar, kira-kira 4 sampai 6 ribu jiwa. Ini
terdapat dalam Documenta Malucensia, berikut Terjemahan bebasnya : “Batachina
ini penuh penduduk dan ada banyak tempat besar dari empat dan lima dan enam
ribu jiwa, dan semua orang ingin menjadi Kristen dan bukan Yahudi. Aku tidak
akan melakukannya lagi sampai aku melihatnya. yang mengajar dan mendoktrinasi
mereka, karena menurut saya jumlahnya lebih sedikit di doktrinasi dengan baik
daripada banyak yang di dokrin dengan buruk. Orang-orang ini bergembira dan
senang mempelajari doktrin, dan begitu banyak sehingga mereka menjalankannya.
Melanjutkan di atas kapal maupun di darat, jadi yang besar juga yang
kecil. Saya tidak lagi memiliki itu Bolehkah saya menulis surat kepada Yang
Mulia. Manado 28 Juli 1563”. Pada kalimat “di atas Kapal maupun di darat”
sengaja saya Bold guna menandai bahwa kelompok Batasina ini adalah kelompok
masyarakat bahari, bukan kelompok alifuru pedalaman.
Ini menjelaskan tentang
keberadaan kelompok Batachina di Sulawesi Utara. Dari keterangan ini, jelas
bahwa Batachina, Bathasina atau Bacan pada dasarnya adalah penyebutan terhadap
kelompok-kelompok Halmahera di Maluku Utara. Pengaruh kelompok ini sangat luas
hingga ke Sulawesi Utara. Kelompok Bacan/Batasina di Sulawesi Utara ini sempat
kontak dengan rombongan Datu Mokodompit sebagaimana dicatat oleh Riedel : “Maka
datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah
mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu
kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang”.
Sekali lagi ini juga menegaskan bahwa Datu Bobentehu ini bukanlah berasal dari
Bacan, pertemuan dengan kelompok Bacan saat Datu ini sudah berada di sekitaran
kepulauan Manado.
Kedatangan Kelompok Batachina
ke Sulawesi Utara tidak sekaligus, tapi terjadi dalam beberapa periode. Saat
saling rebutan dominasi di pulau Halmahera prakolonial antara Jailolo, Loloda
dan Morotai, banyak warga yang eksodus meninggalkan negerinya. Akhir abad ke-16
dan awal abad ke-17 adalah peperangan. Seperti yang di sebutkan oleh M. Adnan
Amal; Setelah naik takhta, Babullah menciptakan hubungan baru Ternate-Portugis.
Semua prakarsa yang sebelumnya selalu berawal dari Portugis, kini berbalik
datang dari Ternate. Hal ini berarti semua kontrol atas Ternate dilakukan oleh
kerajaan sendiri, yang ditangani Bab dengan bantuan para Bobatonya.
Kemudahan-kemudahan yang telah diberikan Khairun kepada Misi Jesuit dihentikan.
Baabbullah bahkan memerintahkan pasukannya memburu orang Portugis sampai ke
manapun dan membunuh mereka.
Kelompok Batachina yang telah di satukan oleh Khairun menjadi bagian tentara Baabullah yang mengejar portugis di segala penjuru sebagaimana di sampaikan oleh Amal di atas. Tradisi lokal maluku utara menyebutkan bahwa dalam perang Khairun (Maupun Baabullah) koalisi besar Moloku Kie Raha mendapatkan perannya masing masing, Bacan bertugas untuk Blockade di bagian sulawesi utara untuk menghalau bantuan portugis yang datang dari Malaka.
Konflik di pusat
rempah dunia ini pun berlanjut sampai sesudah wafatnya Sultan Baabullah.
P.J.B.C. Robidé van der Aa dalam De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der
Vorige Eeuw terbit 1 Jan 1881, menyebutkan; Sekarang setelah Baab
meninggal,tentu saja putra kandung harus berkuasa, tetapi (sebelumnya)
Baab telah membujuk kakak laki-lakinya Kaichi Tulo agar putranya Baabullah
bernama Said sebagai penggantinya dengan perjanjian Said akan Menikahi putri
Kaicil Tulo.
Kaicil Tulo – paman Saidi dan
saudara Babullah – berubah menjadi orang yang berambisi atas tahta Ternate.
Pangeran ini menulis banyak surat kepada Gubernur Jenderal Spanyol di Manila
dan membeberkan kesalahan-kesalahan Saidi serta sikap anti Spanyolnya. Ia
mendesak Spanyol mengirimkan ekspedisi untuk menyingkirkan Saidi. Menurut
Kaicil Tulo, rakyat akan membantu, termasuk dirinya. Gubernur Jendral Spanyol di
Filipina yang baru dilantik, Don Santiago de Vera, sangat tertarik dengan
informasi Kaicil Tulo dan berpendapat bahwa isu itu perlu dipertimbangkan.
M.Adnan Amal juga mencatat ini; ada versi yang juga menyatakan Kaicil
Tulo memusuhi Sultan Saidi karena perilaku Sultan Saidi diantaranya upaya
Saidi menyingkirkan Kaicil Mudaffar serta masalah perkawinan Sultan Saidi
dengan putri dari Kaicil Tulo.
M.Adnan Amal juga
menyebutkan, pada tahun 1585, Gubernur Jendral Spanyol di Manila de Vera
mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin Laksamana Don Juan Marones. Ketika akan
mendekati Bacan, angin topan mencerai-beraikan kapal-kapal mereka. Beberapa
kapal kandas dan tenggelam bersama semua perbekalan, amunisi, serta sebagian
besar tentaranya. Hanya beberapa kapal yang selamat dan tiba di Tidore. Mereka
disambut Kaicil Tulo, Sultan Tidore, Bacan, dan kalangan oposisi lainnya.
Ketika sisa-sisa armada yang
berhasil selamat ini menyerang Ternate, mereka berhasil dipukul mundur hingga
melarikan diri ke Tidore dalam kedaan tercerai-berai. Laksamana Morenos
akhirnya mundur dari perairan Maluku laku kembali ke Manila. Sementara gemuruh
sorak-sorai orang Ternate merayakan kemenangan mereka. Kegagalan Penyerbuan
Spanyol ini membuat Sultan Saidi makin percaya diri melawan oposisi yang di
pimpin oleh Kaicil Tulo.
Puncak perseteruan ini
berakhir pada 26 Maret 1606. Setelah melalui serangkaian persiapan yang matang,
sebuah ekspedisi besar Spanyol tiba di Ternate dipimpin Gubernur Jenderal
Spanyol di Filipina, Don Pedro de Acunha. Ia memimpin armada yang terdiri dari
36 kapal Spanyol-Portugis, 1423 tentara Spanyol, 344 pasukan orang-orang
Tagalog dan Pampangan, 679 orang dari berbagai daerah di Filipina dan
bangsa-bangsa lain, dan 649 pendayung Cina, hingga total berjumlah 3095 orang. Pasukan
besar ini menggempur tentara Ternate yang mempertahankan benteng Gamlamo.
Tidore turut membantu Spanyol dalam penyerangan ini. Akhirnya, benteng yang
dipertahankan Ternate jatuh dalam suatu pertempuran yang tak seimbang. Walaupun
benteng Gamlamo pada masa Baabbulah telah diperkuat dengan tembok tinggi yang
mengelilinginya, tetapi pasukan Spanyol dapat dengan mudah merebutnya.
Penyerbuan ini membuat Sultan
Saidi melarikan diri. Mula-mula ke Jailolo lalu ke Sahu. Sultan hanya ditemani
Sangaji Ngofakiaha dari Makian, dan beberapa keluarga Sultan serta sejumlah
saudara dan pengikut yang terdiri dari kaum perempuan.
Kejatuhan Sultan Saidi dan
upaya pelariannya ke Jailolo serta negosiasi penyerahan diri sang Sultan
difasilitasi Kaicil Hamzah anak dari Kaicil Tulo. Ini tercatat pula dalam
Documenta Malucensia. Disebutkan bahwa Raja Tidore (Kaicil Mole) telah
menjangkau tempat Ternate (Sultan Said) yang di beberapa paruh waktu melarikan
diri ke Jailolo. Tapi entah karena dia tidak bisa lelah, atau karena malam akan
datang, dia memutar balik dan pulang ke benteng. Tetapi mengingat bahwa
Gubernur telah menemukan banyak musuhnya di Tacome, sebuah tempat di pulau
Ternate, maka untuk hari berikutnya ia meminjamkan sebuah Leota dengan beberapa
perahu Kora kora dari Tidore. Di manapun , Quichil Amejaat (Kaicil
Hamzah) akan menemukan mereka".
Menurut Amal, pada Mei 1606,
Sultan Saidi bersama putera tertuanya beserta 24 Sangaji dan sejumlah
Kaicil—termasuk Kaicil Tulo, Kaicil Hamzah anak Kaicil Tulo dan kemenakan Saidi—naik
ke atas kapal Patrona yang dipimpin Kapten Villagra. Kapal ini membawa mereka
ke tempat pengasingan di Manila.
Pada saat kejatuhan Ternate
dan ditawannya Sultan Saidi beserta keluarganya, Panglima Perang Spanyol di
Manila (Master de Campo) mengirim utusan dan membawa surat untuk raja-raja di
Sulawesi Utara. Surat ini dibawa oleh seorang perwira bernama Christian Suarez
(Christobal Suarez menurut Scritto da Marco Ramerini ) ditujukan kepada Raja
Manado, Raja Bolaang, Kepala Suku Kaidipang, Raja Buol dan Toli-toli.
Delegasi Christian Suarez ini
hanya diterima oleh Reyna Dongue Kepala Suku Kaidipang. Dongue menyatakan
kesetiaannya terhadap Spanyol serta telah lama bermusuhan dengan Ternate.
Selain itu Dongue mengirim Surat ke Manila yang bertanggal 26 Juli 1606
sebagaimana terdapat dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak
Kebudayaan Portugis di Nusantara karya Paramatiha R Abdulrahman.
Perlu diketahui bahwa di tahun 1606, tidak terkonfirmasi tentang pertemuan Raja Manado atau Raja Bolaang dengan delegasi pimpinan Christian Suarez. Pada masa ini juga di Manado dan sekitarnya, Raja Mokodompit harus bertahan dari situasi sulit dalam menghadapi pengembara laut dari kelompok Bacan. Riedel mencatat, Raja Mokodompit mempertahankan Pulau Nain dan Pulau Manado dan membangun benteng dari batu karang; “Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. Pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang". Pulau Manado tetap bertahan dan dalam kekuasaan Raja Mokodompit.
Tadohe Raja Manado (periode pertama)
Tahun 1610, Tadohe putra dari
Raja Mokodompit mewarisi tahta Ayahnya sebagai Raja Manado sebagaimana juga
keterangan yang dilansir Wikipedia. Namun dalam pemerintahannya, Tadohe
mendapat banyak tantangan dari berbagai faksi yang ada di sekitar Manado.
Riedel pun mencatat kejadian ini : “maka anakh tjutjuhnya Mokodompis pertama
pon gantilah padanya dalam pengawasan parentah itu, tetapi kaparentahan ini
menimbulkanlah pertjerejan bangsa bangsa lajin apatah berpindah pergi ke pulow
Talieij ikot penghulu penghulu orang gaga Borimanin, Bahakikih, Bokarakombang
dan wiliuman itu''.
Ini menjelaskan tentang
pergantian pemerintahan ke anak pertama Mokodompit dan Gogune seorang perempuan
dari Siau. Anak pasangan ini bernama Tadohe. Sebelumnya diketahui bahwa ketika
Mokodompit yang sudah memperistri Mongijadi kemudian kawin lagi dengan Gogune,
hal ini sempat menimbulkan gunjingan di Bolaang Mongondow. Akibatnya Raja
Mokodompit meninggalkan Bolaang Mongondow demi membawa Gogune menjauh karena
kian tak enak dengan gunjingan.
Pada saat Raja Mokodompit
mewariskan tahta kerajaan Manado kepada putranya, timbul perpecahan hingga
melahirkan kubu oposisi di kalangan bangsa-bangsa kerajaan Manado terhadap
Mokodompit. Mereka tak seberapa suka dengan Tadohe mewarisi tahta dari Ayahnya. Raja yang masih berumur belia ini sekarang harus menghadapi faksi faksi yang menolak pemerintahannya.
Situasi Maluku Utara
Salah satu kekuatan politik yang berdampak pada kekuasaan Raja Raja di jazirah utara sulawesi adalah Maluku utara terutama Ternate dan Tidore. Menurut M. Adnan Amal, pada
tahun 1610, dalam usia yang masih sangat muda (15 tahun), Mudaffar dilantik
sebagai Sultan Ternate ke-9. Karena usia yang masih belia, ia belum dapat
menjalanan kekuasaannya secara penuh. Menurut keputusan Dewan Kerajaan,
ia harus didampingi sebuah komisi yang terdiri dari delapan orang (Komisi
Tufkange), dan dipimpin seorang Belanda bernama Gerard van der Buis. Jogugu
Hidayat dan Kapita Laut Kaicil Ali, termasuk ke dalam keanggotaan komisi ini.
Berdasarkan penelitian
M.Adnan Amal, Mudaffar tidak populer di kalangan rakyat. Lantaran takut
dikhianati, ia lebih banyak menginap di benteng Oranje ketimbang di istananya.
Kubu oposisi pun mulai terbentuk menentang Mudaffar. Sejalan dengan itu Spanyol
juga berniat memecah kekuatan Ternate dibawah Sultan Mudaffar yang didukung Belanda
dengan kubu oposisi yang mendukung Sultan Saidi di pihak Spanyol.
Mengutip dari Scritto da
Marco Ramerini, disebutkan bahwa Sultan Saidi berkat dari Ternate pasca
kemenangan Spanyol (1606), dideportasi ke Manila. Ia kembali ke Ternate pada
tahun 1611 bersama Gubernur Juan de Silva yang berharap kehadirannya dapat
meyakinkan rakyat Ternate bersekutu dengan Spanyol. Tujuan Spanyol tentu dapat
ditebak yakni melenyapkan Belanda dari Maluku. Namun itu tidak menjadi
kenyataan.
Pada tahun 1610 Spanyol punya
niat menaklukan Manado. Hal ini sebagaimana Ariel Lopez dalam desertasinya: “Di
sisi Spanyol, gagasan penaklukan Manado muncul dalam teks yang disukai.
Kemenangan di Pertempuran Playa Honda tahun 1610, di mana skuadron Belanda yang
memblokir perdagangan Manila dihancurkan, menciptakan iklim optimisme umum yang
berpuncak pada pembentukan armada besar yang akan digunakan untuk mengusir
Belanda dari Asia".
Lopez menerangkan bahwa
semangat Spanyol yang begitu menggebu menaklukan Manado, pada akhirnya kandas.
Kekalahan di Singapura turut mematahkan niat ini. Alasan yang dikemukakan Lopez
adalah, kapal mereka karam di Selat Singapura hingga rencana tersebut gagal dan
menghentikan kemungkinan ekspansi ke Filipina Selatan. Pasukan besar tidak
pernah tiba di Maluku dan Jernimo de Silva sendiri, yang tak sabar menunggu
kedatangan mereka secara pribadi mengunjungi raja Manado.
Kekuatan Spanyol masih
difokuskan di Maluku untuk menghalau pengaruh Belanda dan Ternate. Pada tahun
1611 Spanyol menyerbu Jailolo dan beberapa wilayah di Batasina (Halmahera).
Dikatakan M.Adnan Amal: ''Gagal menggempur Bacan, Spanyol mengalihkan perhatian
ke Jailolo dan menyerbunya pada tahun 1611. Serbuan ini berhasil, dan selama
kurang lebih 9 tahun (1611-1620) Spanyol menguasai kerajaan itu''.
Sulawesi Utara termasuk
Manado, oleh Spanyol hanya dijadikan pendukung untuk operasi menguasai Maluku.
Ketiadaan rempah-rempah di Manado membuat minat Spanyol menurun. Belum lagi
operasi untuk menghalau pengaruh Ternate dan Belanda yang semakin meluas. Untuk
sementara ini Manado hanya menjadi pos pendukung logistik armadanya di Maluku.
Lopez mengutip dari Sancho Rayn,: ''Dalam sepucuk surat dari tahun 1614 kepada
Gubernur Jernimo de Silva ia menceritakan kepada kita bagaimana, karena
kurangnya makanan di Maluku, Juan Martnez de Lidena pergi ke Manado untuk
mengambil beras dan sagu sebagai ganti pakaian''.
Di tahun itu kerajaan Manado
maupun Ternate masing masing menjalani situasi pelik yang hampir mirip;
lahirnya kubu oposisi yang di pimpin pamannya sendiri yang bernama Lumantut dan
kepentingan antara Belanda maupun Spanyol yang saling berlawanan.
Tadohe Tersingkir dari Manado
Tahun 1614 Tadohe berupaya
menghubungi Spanyol, meminta bantuan guna melindungi negerinya dari pengaruh
Ternate. David Henley dalam artikelnya berjudul A Superabundance Of Centers:
Ternate And The Contest For North Sulawesi, menyebut: ''Tahun 1614, raja
Manado—yang pada masa kolonial dikenal sebagai raja-raja Bolaang
Mongondow—memohon kepada Spanyol melindungi mereka dari penetrasi Ternate".
Secara temporal masa ini bertautan dengan periodisasi Tadohe yang memang
melahirkan kepelikan tersendiri ketika mewarisi tahta ayahnya, Mokodompit.
Sementara itu di Maluku Sultan Mudaffar dan Belanda berupaya menghalau pengaruh oposisi bangsawan Ternate di Manila, Kaicil Tulo dan bekas Sultan serta para bangswan lainnya memilih untuk memihak Spanyol, Tidore, Jailolo, dan kelompok Batasina (Halmahera).
Di Kaidipang, Dongue yang beberapa waktu lalu menyatakan setia kepada Spanyol, tiba-tiba berubah arah. Dongue memerintahkan pembunuhan kepada Fransiscan sebagaimana terungkap dalam Documenta Malucensia : "Dongue, Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan". Tahun 1614, posisi Dongue digantikan Banidaca. ''Only two years after this letter the ruler of Kaidipan is named Banidaca (Correspondencia 221, letter of June 29, 1614) Documenta Malucensia''.
Di pihak Ternate-Belanda berupaya untuk menghalau pengaruh Spanyol termasuk melakukan ekspedisi
untuk membangun komunikasi di seberang lautan guna mengamankan aliansi
Belanda-Ternate. Manado dikunjungi ekspedisi ini, sebagaimana Lopez yang turut
mengutip Hanley : “Meskipun mereka (Belanda) juga sering mengunjungi
pantai utara Sulawesi, tidak adanya rempah-rempah berarti mereka memiliki
sedikit minat. Sebuah ekspedisi Belanda ke Manado pada tahun 1615 dari Siau
menolak tawaran untuk meninggalkan tentara di Manado karena tidak membahayakan
kemungkinan aliansi dengan Ternate''.
Kunjungan ini bersamaan
Tadohe sedang menghadapi kubu oposisi. Sementara itu bantuan dari Spanyol belum
juga hadir. Kelompok bangsawan Ternate yang berada di Manila yang dipimpin
Kaicil Tulo mulai terendus berada di sekitaran Manado. Sementara tim ekspedisi
Belanda-Ternate mengambil kesimpulan Manado tidak akan membahayakan kemungkinan
aliansi dengan Ternate. Sebuah situasi yang berakibat pada tahta Raja Manado.
Tahun 1615 adalah tahun
genting untuk Manado. Setidaknya bagi Tadohe yang merasa masih seperti duduk di
atas bara. Tahta untuknya lanjur melahirkan kubu oposisi yang di pimpin oleh
Lumantut, Ia baru sedang disibukan mengurai faksi-faksi yang tak seberapa suka
dengannya, sementara kabar kedatangan rombongan Kaicil Tulo dari Manila yang
betapa mudah mencaplok sokongan Spanyol, justru makin menggoyahkan tahtanya di
Manado. Bahkan parahnya lagi, orang orang Bolaang tidak menyukainya, mengutip
dari Ridel : “Кomedijen maka datanglah bangsa Воla-ang itu
berparang-parangan,lagi membakar babarapa tampat pasisir tetapi bertsohhbatlah
persakutuwan bajikh salaku bersudara marika itu pula pada masanja dibalakang
demikijen”.
Pada akhirnya Tadohe tak
mampu menjaga tahta yang baru saja diberikan untuknya. Konflik internal
kerajaan yang telah melahirkan faksi-faksi sebagai kubu oposisi baginya,
membuat Tadohe akhirnya tersingkir dari Manado. Kehadiran Kaicil Tulo dan
rombongannya dari Manila yang betapa mudah mengatasnamakan Spanyol demi
menghadang aliansi Ternate-Belanda di negeri rebutan ini, benar-benar memumpus
harapan ia dapat menstabilkan keadaan untuk melanggengkan kekuasannya.
Tadohe dengan beberapa pengawalnya dari Siau yang berada di Manado akhirnya meninggalkan Manado menuju Bolaang Mongondow melalui pesisir selatan. Tahun 1616 Manado mutlak dikuasai Kaicil Tulo. Beberapa tahun kemudian Kaicil Hamzah putra Kaicil Tulo yang saat itu berada di Manila kembali ke Ternate dan terpilih sebagai Sultan Ternate. Namun hal mengejutkan terjadi, Sultan Hamzah kelak melepaskan diri dari pengaruh Spanyol dan menjalin aliansi dengan Belanda.
Bersambung ke Bagian II
Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia. 2008
- Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia . 1984
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
- P.J.B.C. Robid Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949
Tidak ada komentar:
Posting Komentar