#BlogArchive1 .widget-content{ height:100px; width:auto; overflow:auto; }

11 Januari, 2022

Sejarah Raja Raja Manado Abad ke-17 (Bagian I)

 Konten ini telah tayang di Kompasiana.com Kreator: Patra Mokoginta

Makam Raja Manado, Dom Fernando. Foto Erwin Makalunsenge

Sekilas tentang Penguasa Manado Abad ke-17

Ketika kita membuka dokumen-dokumen tua abad ke-17, Manado akan selalu bersentuhan dengan dua kekuasaan lokal yakni Bolaang dan Ternate. Dua kekuasaan ini selanjutnya memiliki persentuhan dimulai dengan Portugis, Spanyol, dan VOC-Belanda.

Keterangan yang kita peroleh dari Bolaang baik lewat daftar silsilah maupun tradisi lisan, akan muncul nama raja-raja Bolaang yang ditarik mulai dari Mokodoludut hingga Loloda Mokoagow yang di tradisikan sebagai penguasa Manado secara turun-temurun. Sementara dari kalangan tradisional Maluku Utara mentradisikan bahwa sejak Sultan Baabbullah berkuasa atas 72 negeri (termasuk Manado), kekuasaan Ternate berlaku kontinyu tanpa putus. Namun ada fakta sejarah yang saya temui dimana penguasaan Ternate atas Manado tidak demikian. Kecuali itu maka saya sepakat dengan David Henley yang mengatakan; "penguasaan Ternate atas Manado atau Utara Celebes tidak kontinue melainkan terputus-putus, setidaknya di abad ke-17".

Penguasa Manado abad ke-17 dari kalangan Dinasti Mokodoludut ada tiga orang yakni Raja Mokodompit/Mocodompis, Raja Tadohe / Dom Fernando dan Raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang). Sedangkan dari Dinasti Sultan Hairun Jamil (Sultan Ternate) antara lain; Kaicil Tulo, Sultan Sibori (Pasibori) dan Sultan Mandarsjah. Namun untuk penguasa dari Ternate penulis membatasi pada Kaicil Tulo karena dia yang terekam menyebut dirinya sebagai Raja Manado, King of Manado atau Rey de Manado. Untuk Sultan Sibori dan Sultan Mandarsjah tetap disebut sebagai King of Ternate.

Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba mengangkat sedikit kiprah 4 orang yang pernah menjadi Raja Manado. Mereka adalah Mokodompit/Mokodompis, Kaicil Tulo/Cachil Tulo, Tadohe/Dom Fernando, dan Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang. Akan diawali dengan sekilas hubungan erat antar kerajaan di Sulawesi Utara dan tengah serta bentuk otoritas Raja awal abad ke-17.

Kerajaan dalam Rumpun Keluarga Besar.

Kerajaan yang berdiri di Buol, Gorontalo, Kaidipang, Bolaang Mongondow hingga Siau, secara genealogis merupakan rumpun keluarga besar. Ini bisa di telusuri dari Silsilah Raja Raja Bolaang Mongondow yang di mulai dari Raja Mokodoludut.

Ini dapat kita mulai dari Ratu Kaidipang bernama Lingkakoa yang nasabnya menjurus ke Mokodoludut lewat jalur Abo Ginupit. Raja Raja Buol bernasabkan Mokoapat, hikayat–hikayat dari Siau nasabnya bertali ke Mokodoludut lewat Lokonbanua, Raja Raja Bolango terpaut dengan Golonggom, pendiri kerajaan Limboto yakni Ratu Tolangohula bersuamikan Yilomoto, dimana Yilomoto adalah cucu dari Raja Bolaang bernama Buluati atau Butiti alias Busisi hasil perkawinan dengan putri Raja Suwawa.

Maka kita tidak akan heran ketika di Bolaang Mongondow, Mokodompit merajuk karena urusan internal keluarga, dan pergi ke Siau.  Dari Mokodompit dan Istrinya di Siau, lahir Tadohe kemudian menjadi Raja Bolaang. Jacobus Pontoh kelahiran Bolangitang di jemput oleh Dewan Adat Siau dan di lantik menjadi Raja Siau. Ini semua karena adanya hubungan keluarga yang erat.

Abad ke-17 kerajaan di Sulawesi Utara yang secara genealogis bertalian erat dengan Buol, Kaidipang , Bolaang dan Siau, ketika saling menguatkan dominasi masing – masing, kadang saling membantu walau sering kali pecah juga konflik internal namun bagaimanapun konflik itu terjadi, tak serta-merta dapat menghapus pertalian darah sebagai satu keluarga besar, keluarga kohongian atau keluarga kerajaan.

Ikatan dan pertalian keluarga ini bukan bersumber dari musyawarah untuk membentuk aliansi tapi benar - benar merpakan hubungan keluarga yang erat. Ini dapat kita kroscek lewat stambom pada masing masing keturunan raja di semua wilayah yang disebutkan di atas.  Namun demikian tulisan kali ini di batasi untuk tidak membahas silsilah agung rumpun keluarga Raja Raja di Utara Sulawesi mulai dari Buol hingga Siau termasuk di dalamnya suku Bantik. Kecuali itu, tulisan ini selain sebagai koreksi atas tulisan terdahulu, adalah untuk membahas raja raja Manado abad ke-17.

 Otoritas Kerajaan Awal Abad ke-17

Membaca David Henley dalam desertasinya berjudul Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies, maka diketahui bahwa di masa prakolonial masyarakat di wilayah ini (Sulawesi Utara) jarang dikelola berdasarkan pada konsep kewilayahan/teritori. Kekuasaan raja bukan berdasarkan pada wilayah melainkan kekuasaan terhadap orang-orang/penduduk wilayah. Otoritas kerajaan lebih tertumpu pada pribadi raja dibanding pada negara atau ibukotanya. Oleh sebab itu, berdasarkan peran yang telah umum ini, nampaknya raja telah menghabiskan banyak waktu untuk bergerak atau berpindah-pindah. Namun demikian tetap melekat kepadanya otoritas kerajaan disesuaikan dengan dimana ia berada.

Inilah yang kemudian menyebabkan para pendatang dari Eropa cukup kebingungan. Belanda misalnya. Pada akhirnya dalam laporannya di abad ke-17, orang (raja) yang sama disebut sebagai Raja Manado, Raja Amurang dan Raja Bolaang, karena kerap berpindah-pindah. Disinilah diperoleh keterangan kuat bahwa otoritas kerajaan melekat pada pribadi raja, bukan pada teritorial.  DArtinya, dimana raja berada, disitu otoritas kekuasaannya berlaku. Raja ini, menurut Henley, berperan penting pada bagian cerita yang dijelaskannya dalam desertasi di atas. Henley mencontohkan, raja yang dimaksud mempertahankan tempat tinggal dan istri atau selir di tiga wilayah) (Manado, Amurang, Bolaang). Kebijakan kerajaan tidak mengenal batas atau teritorial, sehinga dalam konsep topomini sebagaimana didaftar raja, ketika diminta untuk mendefinisikannya wewenang itu lebih bersifat etnis ketimbang geografis.

Raja Mokodompit (Mokodompis)

Silsilah Raja Mokodompit

N.P. Wilken dan J.A.T Schwarz menyalin kembali silsilah kerajaan dari Jogugu Damopolii sebagaimana termuat dalam Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou pada bagian “Buk Ouman Sinomongondou” (Buku berbahasa Mongondow) terbit tahun 1871. Saya kutip sedikit;  “Mokodoludut yang adalah Punu (Raja) Gumolung menikah dengan Bounia yang terlahir dari Patung Bulawan (Bambu Kuning). Mereka berdua mendapatkan lima orang anak masing-masing: Golonggom, Ginupit, Pondadat, Ginsapondo, Jajubangkai (Raja). Jajubangkai menikahi Silagondo bangsawan dari Buntalo memperoleh anak masing-masing: Kinalang yang adalah Damopolii dan Mokoapa. Si Kinalang yang adalah Damopolii menikahi Tendeduwayo bangsawan dari Sinumolantaan memperoleh anak : Busisi (Raja) dan Ponamon.  Busisi lantas menikahi Limbatondo bangswan dari Ginolantungan memperoleh anak: Dunu, Takadumakul, Makalunsenge dan Makalalo (Raja). Selanjutnya Makalalo menikahi Gantiganting putri dari Mandolang memperoleh anak Mokodompit. Dari garis pihak laki laki (Ayah) lurus ke atas : Mokodompit Putra dari Raja Makalalo, Raja Makalalo putra dari Raja Busisi, Raja Busisi putra dari Raja Damopolii, Raja Damopolii putra dari Raja Jajubangkai, Jajubangkai adalah putra dari Raja Mokodoludut”.

Raja Mokodompit Meninggalkan Bolaang Mongondow

Sejarah Mokodompit yang saya kutip dari buku Over de Vorsten van Bolaang Mongondow  karya W.Dunnebier langsung pada poin pentingnya yakni : “Daar deze Gogoene' een vrouw uit het volk was, maakten velen heel wat minder vriendelijke opmerkingen over dit huwelijk. wege al dat gebabbel verliet Mokodompit zijn land en ging naar het eiland Sangir, waar Gogoene' het leven schonk aan een zoon, die Tadohe' werd genoemd”. Terjemahan bebasnya : “Karena Gogune (Isteri Mokodompit) dari kalangan rakyat (bukan bangsawan Bolaang) telah melahirkan banyak pergunjingan yang tak enak dari pernikahan ini. Semua pergunjingan ini membuat Mokodompit tak enak hingga memilih meninggalkan kerajaannya dan pergi ke Pulau Sangir tempat Gogune (Isterinya) melahirkan seorang Putra yang di beri nama Tadohe”.

Dalam buku Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa karya J.G.F. Riedel, mengulas jalur perjalanan Raja Mokodompit (Mokodompis) saat meninggalkan negerinya. Pada bagian Tou Babontehuh - Lumentut, Mokodompis, Riedel menulis ; “Kemudian deri pada itu maka datanglah bangsa orang asing deri fihakh salatan menurut jang ampunya tjerita sawatu Datu baserta anakh-anakhnja apatah bertjidera satara istrijnja sebabnja perkara gondikh sehingga meninggalkanlah ija tanah pandudokannja tjharaij tampat perdijaman lajin itulah,-Maka pergilah Datu ini mula mulanja singgah di Molibagoh pula berikot-ikot di pasoloh, baleng-baleng, lembeh tetapi diusirlah pada tampat tampat ini lalu berpindahlah ija pada achrinaka pulow Bangka sakarang itu - Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu”.

Dari keterangan ini menjelaskan bahwa Datu ini berasal dari Selatan ( Bolaang Mongondow) dengan Startingnya dari Molibagu ( Bolmong Selatan). Ini juga menegaskan bahwa Datu ini bukan berasal dari Timur ( Bacan) yang di kira oleh Sebagian orang. Bahkan Datu ini bertemu dengan kelompok Bacan nanti saat berada di sekitaran kepulauan Manado.

Selain itu, ini juga mengkonfirmasi masalah perkawinan “prahara rumah tangga“ antara Mokodompit dan Gugune yang menyebabkan Mokodompit meninggalkan Bolaang Mongondow. Ridel memang tidak menyebut nama Datu ini tapi pada bagian lain dari buku ini, Ridel menyebut bahwa anak-cucu dari Datu ini bernama Mokodompis, ini juga menjadi ambigu karena dari tradisi yang berasal dari Bolaang Mongondow bahwa ayah dari Mokodompit ini bernama Makalalo dan ibunya seorang putri yang berasal dari Mandolang, Makalalo menjadi penguasa Manado berdasarkan hak waris dari kakeknya Raja Damopolii, dan Makalalo tidak pernah bermasalah dengan rumah tangganya, prahara rumah tangga hanya terjadi pada masa Datu Mokodompit. Saya memegang pendapat yang berasal tradisi “deri fihakh salatan” yakni Bolaang Mongondow sebagai asal usul sang Datu. Datu ini adalah Datu Mokodompit bukan Makalalo.

Jika Dunnebier hanya memberi informasi sekilas tentang Mokodompit yang meninggalkan negerinya karena akibat gunjing terkait status Isteri keduanya bernama Gogune, maka Ridel sedikit merinci jalur perjalanan Mokodompit (Mokodompis) yang dimulai dari Molibagu (Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini ) termasuk nama-nama tempat yang disinggahi sang Datu, hingga menjadi Raja di Manado hingga wafatnya Mokodompit dalam umur yang usur di Pulau Manado.

Mokodompit Raja Manado

"Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batu karang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu". Demikian kutipan Riedel menegaskan bahwa Datu Mokodompit menjadi Raja di Manado dalam waktu yang lama, karena Mokodompit berumur panjang.

Sebagaimana menurut David Henley bahwa pada masa prakolonial kekuasaan raja bukan didasarkan pada teritorial melainkan pribadi raja dan penguasaannya (raja) terhadap orang-orang/rakyat dimana ia berada, maka sudah barang tentu baik secara spasial maupun temporal, pendapat Henley memiliki kesesuaian dengan eksistensi Mokodoludut dimana ketika itu konsep (politik) teritorial belum digunakan sebelum Belanda (VOC) datang (soal tapal batas, pembagian tanah /wilayah).

Demikian juga berlaku pada Raja Mokodompit. Ketika Raja meninggalkan tempat kediamannya di Bolaang Mongondow, melewati jalur Molibagu (Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini) bukan berarti kerajaan Bolaang Mongondow bubar, tapi dalam pribadi raja yang berpindah-pindah tempat ini melekat “otoritas negara” Bolaang Mongondow pada pribadi raja. Sang raja biasanya akan disapa oleh rakyat yang mendaulatnya sesuai tempat kediaman Raja. Maka lazim Mokodompit disebut sebagai Raja Manado, Raja Bobentehu, Raja Bolaang atau Raja Mongondow. Ini juga jauh maknanya dimana seorang raja menduduki atau menaklukan banyak kerajaan.

Sebagaimana diketahui bahwa Mokodompit sebenarnya mewarisi juga tahta kerajaan di Manado dari buyutnya Mokodoludut, pendiri Kerajaan Babountehu atau Kerajaan Manado. Pada saat  Mokodompit berada di Manado sekaligus menjadi raja, sudah terbangun kerjasama dengan pihak Kesultanan Ternate. Ridel mencatat ini walau agak samar : “Adapon maka berfakatlah Lumentut dan Mokodompis itu fakatan bersudara baserta kolanoh Tarnatej — Tobeloh. pada berparang-paranga melawan bangsa-bangsa ini. tetapi tijada dialahkannja marika iiu, sebah terlalu amat baranijnja, melajinkaa dibudjokhnja marika itu djuga pulang kombali,bewat perdijamannja senderij diatas Pulau bobentehu tersebut itu”. Catatan Riedel ini, menjelaskan pada kita relasi yang dijalin Raja Mokodompit serta menegaskan Ibukota Kerajaan Manado di masa Raja Mokodompit berada di Manado (Sekarang dikenal Pulau manado Tua)

Kondisi Politik Sulawesi Utara dan Maluku era akhir Mokodompit

Kejadian di Sulawesi Utara ada korelasi dengan kejadian di Maluku Utara. Ini erat kaitan dengan jalur perdagangan rempah yang sentralnya di Maluku. Jalur perdagangan rempah ini terkait erat dengan berbagai kekuatan dan pengaruh baik lokal maupun bangsa asing. Di Maluku Utara selain Ternate dan Tidore terdapat kelompok Halmahera. M.Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah Sejarah Maluku Utara 1250-1950, mengutip pendapat A.B Lapian: “Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu cina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucina tidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah. Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo”.

Kelompok Batachina ini diketahui telah eksis di Sulawesi Utara sejak pemerintahan Sultan Hairun. Bahkan jumlahnya sudah sangat besar, kira-kira 4 sampai 6 ribu jiwa. Ini terdapat dalam Documenta Malucensia, berikut Terjemahan bebasnya : “Batachina ini penuh penduduk dan ada banyak tempat besar dari empat dan lima dan enam ribu jiwa, dan semua orang ingin menjadi Kristen dan bukan Yahudi. Aku tidak akan melakukannya lagi sampai aku melihatnya. yang mengajar dan mendoktrinasi mereka, karena menurut saya jumlahnya lebih sedikit di doktrinasi dengan baik daripada banyak yang di dokrin dengan buruk. Orang-orang ini bergembira dan senang mempelajari doktrin, dan begitu banyak sehingga mereka menjalankannya. Melanjutkan di atas kapal maupun di darat, jadi yang besar juga yang kecil. Saya tidak lagi memiliki itu Bolehkah saya menulis surat kepada Yang Mulia. Manado 28 Juli 1563”. Pada kalimat “di atas Kapal maupun di darat” sengaja saya Bold guna menandai bahwa kelompok Batasina ini adalah kelompok masyarakat bahari, bukan kelompok alifuru pedalaman.

Ini menjelaskan tentang keberadaan kelompok Batachina di Sulawesi Utara. Dari keterangan ini, jelas bahwa Batachina, Bathasina atau Bacan pada dasarnya adalah penyebutan terhadap kelompok-kelompok Halmahera di Maluku Utara. Pengaruh kelompok ini sangat luas hingga ke Sulawesi Utara. Kelompok Bacan/Batasina di Sulawesi Utara ini sempat kontak dengan rombongan Datu Mokodompit sebagaimana dicatat oleh Riedel : “Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang”. Sekali lagi ini juga menegaskan bahwa Datu Bobentehu ini bukanlah berasal dari Bacan, pertemuan dengan kelompok Bacan saat Datu ini sudah berada di sekitaran kepulauan Manado.

Kedatangan Kelompok Batachina ke Sulawesi Utara tidak sekaligus, tapi terjadi dalam beberapa periode. Saat saling rebutan dominasi di pulau Halmahera prakolonial antara Jailolo, Loloda dan Morotai, banyak warga yang eksodus meninggalkan negerinya. Akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah peperangan. Seperti yang di sebutkan oleh M. Adnan Amal; Setelah naik takhta, Babullah menciptakan hubungan baru Ternate-Portugis. Semua prakarsa yang sebelumnya selalu berawal dari Portugis, kini berbalik datang dari Ternate. Hal ini berarti semua kontrol atas Ternate dilakukan oleh kerajaan sendiri, yang ditangani Bab dengan bantuan para Bobatonya. Kemudahan-kemudahan yang telah diberikan Khairun kepada Misi Jesuit dihentikan. Baabbullah bahkan memerintahkan pasukannya memburu orang Portugis sampai ke manapun dan membunuh mereka.

Kelompok Batachina yang telah di satukan oleh Khairun menjadi bagian tentara Baabullah yang mengejar portugis di segala penjuru sebagaimana di sampaikan oleh Amal di atas. Tradisi lokal maluku utara menyebutkan bahwa dalam perang Khairun (Maupun Baabullah) koalisi besar Moloku Kie Raha mendapatkan perannya masing masing, Bacan bertugas untuk Blockade di bagian sulawesi utara untuk menghalau bantuan portugis yang datang dari Malaka.

Konflik di pusat rempah dunia ini pun berlanjut sampai sesudah wafatnya Sultan Baabullah. P.J.B.C. Robidé van der Aa dalam De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw terbit 1 Jan 1881, menyebutkan; Sekarang setelah Baab meninggal,tentu saja putra kandung harus berkuasa, tetapi  (sebelumnya) Baab telah membujuk kakak laki-lakinya Kaichi Tulo agar putranya Baabullah bernama Said sebagai penggantinya dengan perjanjian Said akan Menikahi putri Kaicil Tulo.

Kaicil Tulo – paman Saidi dan saudara Babullah – berubah menjadi orang yang berambisi atas tahta Ternate. Pangeran ini menulis banyak surat kepada Gubernur Jenderal Spanyol di Manila dan membeberkan kesalahan-kesalahan Saidi serta sikap anti Spanyolnya. Ia mendesak Spanyol mengirimkan ekspedisi untuk menyingkirkan Saidi. Menurut Kaicil Tulo, rakyat akan membantu, termasuk dirinya. Gubernur Jendral Spanyol di Filipina yang baru dilantik, Don Santiago de Vera, sangat tertarik dengan informasi Kaicil Tulo dan berpendapat bahwa isu itu perlu dipertimbangkan. M.Adnan Amal juga mencatat ini;  ada versi yang juga menyatakan Kaicil Tulo memusuhi Sultan Saidi karena perilaku Sultan Saidi  diantaranya upaya Saidi menyingkirkan Kaicil Mudaffar serta masalah perkawinan Sultan Saidi dengan putri dari Kaicil Tulo.

M.Adnan Amal juga menyebutkan, pada tahun 1585, Gubernur Jendral Spanyol di Manila de Vera mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin Laksamana Don Juan Marones. Ketika akan mendekati Bacan, angin topan mencerai-beraikan kapal-kapal mereka. Beberapa kapal kandas dan tenggelam bersama semua perbekalan, amunisi, serta sebagian besar tentaranya. Hanya beberapa kapal yang selamat dan tiba di Tidore. Mereka disambut Kaicil Tulo, Sultan Tidore, Bacan, dan kalangan oposisi lainnya.

Ketika sisa-sisa armada yang berhasil selamat ini menyerang Ternate, mereka berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri ke Tidore dalam kedaan tercerai-berai. Laksamana Morenos akhirnya mundur dari perairan Maluku laku kembali ke Manila. Sementara gemuruh sorak-sorai orang Ternate merayakan kemenangan mereka. Kegagalan Penyerbuan Spanyol ini membuat Sultan Saidi makin percaya diri melawan oposisi yang di pimpin oleh Kaicil Tulo.

Puncak perseteruan ini berakhir pada 26 Maret 1606. Setelah melalui serangkaian persiapan yang matang, sebuah ekspedisi besar Spanyol tiba di Ternate dipimpin Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina, Don Pedro de Acunha. Ia memimpin armada yang terdiri dari 36 kapal Spanyol-Portugis, 1423 tentara Spanyol, 344 pasukan orang-orang Tagalog dan Pampangan, 679 orang dari berbagai daerah di Filipina dan bangsa-bangsa lain, dan 649 pendayung Cina, hingga total berjumlah 3095 orang.  Pasukan besar ini menggempur tentara Ternate yang mempertahankan benteng Gamlamo. Tidore turut membantu Spanyol dalam penyerangan ini. Akhirnya, benteng yang dipertahankan Ternate jatuh dalam suatu pertempuran yang tak seimbang. Walaupun benteng Gamlamo pada masa Baabbulah telah diperkuat dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, tetapi pasukan Spanyol dapat dengan mudah merebutnya.

Penyerbuan ini membuat Sultan Saidi melarikan diri. Mula-mula ke Jailolo lalu ke Sahu. Sultan hanya ditemani Sangaji Ngofakiaha dari Makian, dan beberapa keluarga Sultan serta sejumlah saudara dan pengikut yang terdiri dari kaum perempuan.

Kejatuhan Sultan Saidi dan upaya pelariannya ke Jailolo serta negosiasi penyerahan diri sang Sultan difasilitasi Kaicil Hamzah anak dari Kaicil Tulo. Ini tercatat pula dalam Documenta Malucensia. Disebutkan bahwa Raja Tidore (Kaicil Mole) telah menjangkau tempat Ternate (Sultan Said) yang di beberapa paruh waktu melarikan diri ke Jailolo. Tapi entah karena dia tidak bisa lelah, atau karena malam akan datang, dia memutar balik dan pulang ke benteng. Tetapi mengingat bahwa Gubernur telah menemukan banyak musuhnya di Tacome, sebuah tempat di pulau Ternate, maka untuk hari berikutnya ia meminjamkan sebuah Leota dengan beberapa perahu Kora kora dari Tidore.  Di manapun , Quichil Amejaat (Kaicil Hamzah) akan menemukan mereka".

Menurut Amal, pada Mei 1606, Sultan Saidi bersama putera tertuanya beserta 24 Sangaji dan sejumlah Kaicil—termasuk Kaicil Tulo, Kaicil Hamzah anak Kaicil Tulo dan kemenakan Saidi—naik ke atas kapal Patrona yang dipimpin Kapten Villagra. Kapal ini membawa mereka ke tempat pengasingan di Manila.

Pada saat kejatuhan Ternate dan ditawannya Sultan Saidi beserta keluarganya, Panglima Perang Spanyol di Manila (Master de Campo) mengirim utusan dan membawa surat untuk raja-raja di Sulawesi Utara. Surat ini dibawa oleh seorang perwira bernama Christian Suarez (Christobal Suarez menurut Scritto da Marco Ramerini ) ditujukan kepada Raja Manado, Raja Bolaang, Kepala Suku Kaidipang, Raja Buol dan Toli-toli.

Delegasi Christian Suarez ini hanya diterima oleh Reyna Dongue Kepala Suku Kaidipang. Dongue menyatakan kesetiaannya terhadap Spanyol serta telah lama bermusuhan dengan Ternate. Selain itu Dongue mengirim Surat ke Manila yang bertanggal 26 Juli 1606 sebagaimana terdapat dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Nusantara karya Paramatiha R Abdulrahman.

Perlu diketahui bahwa di tahun 1606, tidak terkonfirmasi tentang pertemuan Raja Manado atau Raja Bolaang dengan delegasi pimpinan Christian Suarez. Pada masa ini juga di Manado dan sekitarnya, Raja Mokodompit harus bertahan dari situasi sulit dalam menghadapi pengembara laut dari kelompok Bacan. Riedel mencatat, Raja Mokodompit mempertahankan Pulau Nain dan Pulau Manado dan membangun benteng dari batu karang; “Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. Pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang". Pulau Manado tetap bertahan dan dalam kekuasaan Raja Mokodompit.

Tadohe Raja Manado (periode pertama)

Tahun 1610, Tadohe putra dari Raja Mokodompit mewarisi tahta Ayahnya sebagai Raja Manado sebagaimana juga keterangan yang dilansir Wikipedia. Namun dalam pemerintahannya, Tadohe mendapat banyak tantangan dari berbagai faksi yang ada di sekitar Manado. Riedel pun mencatat kejadian ini : “maka anakh tjutjuhnya Mokodompis pertama pon gantilah padanya dalam pengawasan parentah itu, tetapi kaparentahan ini menimbulkanlah pertjerejan bangsa bangsa lajin apatah berpindah pergi ke pulow Talieij ikot penghulu penghulu orang gaga Borimanin, Bahakikih, Bokarakombang dan wiliuman itu''.

Ini menjelaskan tentang pergantian pemerintahan ke anak pertama Mokodompit dan Gogune seorang perempuan dari Siau. Anak pasangan ini bernama Tadohe. Sebelumnya diketahui bahwa ketika Mokodompit yang sudah memperistri Mongijadi kemudian kawin lagi dengan Gogune, hal ini sempat menimbulkan gunjingan di Bolaang Mongondow. Akibatnya Raja Mokodompit meninggalkan Bolaang Mongondow demi membawa Gogune menjauh karena kian tak enak dengan gunjingan.

Pada saat Raja Mokodompit mewariskan tahta kerajaan Manado kepada putranya, timbul perpecahan hingga melahirkan kubu oposisi di kalangan bangsa-bangsa kerajaan Manado terhadap Mokodompit. Mereka tak seberapa suka dengan Tadohe mewarisi tahta dari Ayahnya. Raja yang masih berumur belia ini sekarang harus menghadapi faksi faksi yang menolak pemerintahannya.

Situasi Maluku Utara

Salah satu kekuatan politik yang berdampak pada kekuasaan Raja Raja di jazirah utara sulawesi adalah Maluku utara terutama Ternate dan Tidore. Menurut M. Adnan Amal, pada tahun 1610, dalam usia yang masih sangat muda (15 tahun), Mudaffar dilantik sebagai Sultan Ternate ke-9. Karena usia yang masih belia, ia belum dapat menjalanan kekuasaannya secara penuh.  Menurut keputusan Dewan Kerajaan, ia harus didampingi sebuah komisi yang terdiri dari delapan orang (Komisi Tufkange), dan dipimpin seorang Belanda bernama Gerard van der Buis. Jogugu Hidayat dan Kapita Laut Kaicil Ali, termasuk ke dalam keanggotaan komisi ini.

Berdasarkan penelitian M.Adnan Amal, Mudaffar tidak populer di kalangan rakyat. Lantaran takut dikhianati, ia lebih banyak menginap di benteng Oranje ketimbang di istananya. Kubu oposisi pun mulai terbentuk menentang Mudaffar. Sejalan dengan itu Spanyol juga berniat memecah kekuatan Ternate dibawah Sultan Mudaffar yang didukung Belanda dengan kubu oposisi yang mendukung Sultan Saidi di pihak Spanyol.

Mengutip dari Scritto da Marco Ramerini, disebutkan bahwa  Sultan Saidi berkat dari Ternate pasca kemenangan Spanyol (1606), dideportasi ke Manila. Ia kembali ke Ternate pada tahun 1611 bersama Gubernur Juan de Silva yang berharap kehadirannya dapat meyakinkan rakyat Ternate bersekutu dengan Spanyol. Tujuan Spanyol tentu dapat ditebak yakni melenyapkan Belanda dari Maluku. Namun itu tidak menjadi kenyataan.

Pada tahun 1610 Spanyol punya niat menaklukan Manado. Hal ini sebagaimana Ariel Lopez dalam desertasinya: “Di sisi Spanyol, gagasan penaklukan Manado muncul dalam teks yang disukai. Kemenangan di Pertempuran Playa Honda tahun 1610, di mana skuadron Belanda yang memblokir perdagangan Manila dihancurkan, menciptakan iklim optimisme umum yang berpuncak pada pembentukan armada besar yang akan digunakan untuk mengusir Belanda dari Asia".

Lopez menerangkan bahwa semangat Spanyol yang begitu menggebu menaklukan Manado, pada akhirnya kandas. Kekalahan di Singapura turut mematahkan niat ini. Alasan yang dikemukakan Lopez adalah, kapal mereka karam di Selat Singapura hingga rencana tersebut gagal dan menghentikan kemungkinan ekspansi ke Filipina Selatan. Pasukan besar tidak pernah tiba di Maluku dan Jernimo de Silva sendiri, yang tak sabar menunggu kedatangan mereka secara pribadi mengunjungi raja Manado.

Kekuatan Spanyol masih difokuskan di Maluku untuk menghalau pengaruh Belanda dan Ternate. Pada tahun 1611 Spanyol menyerbu Jailolo dan beberapa wilayah di Batasina (Halmahera). Dikatakan M.Adnan Amal: ''Gagal menggempur Bacan, Spanyol mengalihkan perhatian ke Jailolo dan menyerbunya pada tahun 1611. Serbuan ini berhasil, dan selama kurang lebih 9 tahun (1611-1620) Spanyol menguasai kerajaan itu''.

Sulawesi Utara termasuk Manado, oleh Spanyol hanya dijadikan pendukung untuk operasi menguasai Maluku. Ketiadaan rempah-rempah di Manado membuat minat Spanyol menurun. Belum lagi operasi untuk menghalau pengaruh Ternate dan Belanda yang semakin meluas. Untuk sementara ini Manado hanya menjadi pos pendukung logistik armadanya di Maluku. Lopez mengutip dari Sancho Rayn,: ''Dalam sepucuk surat dari tahun 1614 kepada Gubernur Jernimo de Silva ia menceritakan kepada kita bagaimana, karena kurangnya makanan di Maluku, Juan Martnez de Lidena pergi ke Manado untuk mengambil beras dan sagu sebagai ganti pakaian''.

Di tahun itu kerajaan Manado maupun Ternate masing masing menjalani situasi pelik yang hampir mirip; lahirnya kubu oposisi yang di pimpin pamannya sendiri yang bernama Lumantut dan kepentingan antara Belanda maupun Spanyol yang saling berlawanan.

Tadohe Tersingkir dari Manado

Tahun 1614 Tadohe berupaya menghubungi Spanyol, meminta bantuan guna melindungi negerinya dari pengaruh Ternate. David Henley dalam artikelnya berjudul A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi, menyebut: ''Tahun 1614, raja Manado—yang pada masa kolonial dikenal sebagai raja-raja Bolaang Mongondow—memohon kepada Spanyol melindungi mereka dari penetrasi Ternate". Secara temporal masa ini bertautan dengan periodisasi Tadohe yang memang melahirkan kepelikan tersendiri ketika mewarisi tahta ayahnya, Mokodompit.

Sementara itu di Maluku Sultan Mudaffar dan Belanda berupaya menghalau pengaruh oposisi bangsawan Ternate di Manila, Kaicil Tulo dan bekas Sultan serta para bangswan lainnya memilih untuk memihak Spanyol, Tidore, Jailolo, dan kelompok Batasina (Halmahera).

Di Kaidipang, Dongue yang beberapa waktu lalu menyatakan setia kepada Spanyol, tiba-tiba berubah arah. Dongue memerintahkan pembunuhan kepada Fransiscan  sebagaimana terungkap dalam Documenta Malucensia  : "Dongue, Queen of Kaidipan, apostate, permits killing of Franciscan"Tahun 1614, posisi Dongue digantikan Banidaca. ''Only two years after this letter the ruler of Kaidipan is named Banidaca (Correspondencia 221, letter of June 29, 1614) Documenta Malucensia''.

Di pihak Ternate-Belanda berupaya untuk menghalau pengaruh Spanyol termasuk melakukan ekspedisi untuk membangun komunikasi di seberang lautan guna mengamankan aliansi Belanda-Ternate. Manado dikunjungi ekspedisi ini, sebagaimana Lopez yang turut mengutip Hanley  : “Meskipun mereka (Belanda) juga sering mengunjungi pantai utara Sulawesi, tidak adanya rempah-rempah berarti mereka memiliki sedikit minat. Sebuah ekspedisi Belanda ke Manado pada tahun 1615 dari Siau menolak tawaran untuk meninggalkan tentara di Manado karena tidak membahayakan kemungkinan aliansi dengan Ternate''.

Kunjungan ini bersamaan Tadohe sedang menghadapi kubu oposisi. Sementara itu bantuan dari Spanyol belum juga hadir. Kelompok bangsawan Ternate yang berada di Manila yang dipimpin Kaicil Tulo mulai terendus berada di sekitaran Manado. Sementara tim ekspedisi Belanda-Ternate mengambil kesimpulan Manado tidak akan membahayakan kemungkinan aliansi dengan Ternate. Sebuah situasi yang berakibat pada tahta Raja Manado.

Tahun 1615 adalah tahun genting untuk Manado. Setidaknya bagi Tadohe yang merasa masih seperti duduk di atas bara. Tahta untuknya lanjur melahirkan kubu oposisi yang di pimpin oleh Lumantut, Ia baru sedang disibukan mengurai faksi-faksi yang tak seberapa suka dengannya, sementara kabar kedatangan rombongan Kaicil Tulo dari Manila yang betapa mudah mencaplok sokongan Spanyol, justru makin menggoyahkan tahtanya di Manado. Bahkan parahnya lagi, orang orang Bolaang tidak menyukainya, mengutip dari Ridel : “Кomedijen maka datanglah bangsa Воla-ang itu berparang-parangan,lagi membakar babarapa tampat pasisir tetapi bertsohhbatlah persakutuwan bajikh salaku bersudara marika itu pula pada masanja dibalakang demikijen”.

Pada akhirnya Tadohe tak mampu menjaga tahta yang baru saja diberikan untuknya. Konflik internal kerajaan yang telah melahirkan faksi-faksi sebagai kubu oposisi baginya, membuat Tadohe akhirnya tersingkir dari Manado. Kehadiran Kaicil Tulo dan rombongannya dari Manila yang betapa mudah mengatasnamakan Spanyol demi menghadang aliansi Ternate-Belanda di negeri rebutan ini, benar-benar memumpus harapan ia dapat menstabilkan keadaan untuk melanggengkan kekuasannya.

Tadohe dengan beberapa pengawalnya dari Siau yang berada di Manado akhirnya meninggalkan Manado menuju Bolaang Mongondow melalui pesisir selatan. Tahun 1616 Manado mutlak dikuasai Kaicil Tulo. Beberapa tahun kemudian Kaicil Hamzah putra Kaicil Tulo yang saat itu berada di Manila kembali ke Ternate dan terpilih sebagai Sultan Ternate. Namun hal mengejutkan terjadi, Sultan Hamzah kelak melepaskan diri dari pengaruh Spanyol dan menjalin aliansi dengan Belanda.

Bersambung ke Bagian II


Sumber data yang di olah :

  • Abdulrahman, Paramatiha R.  Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
  • Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
  • Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel.  A History Of Christianity in Indonesia. 2008
  • Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
  • Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
  • Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
  • Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
  • Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia . 1984
  • Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
  • Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
  • Riedel,J.G.F.  Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
  • P.J.B.C. Robid Van Deer Aa.  De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw 
  • Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
  • W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949



Tidak ada komentar:

Posting Komentar